Kejernihan Hati Seorang
Emak
Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*
Judul
: Emak:
Penuntunku dari Kampung Darat sampai Sorbonne
Penulis
: Daoed
Joesoef
Penerbit
: Buku
Kompas Jakarta
Cetakan
: I, April
2010
Tebal
: 292 halaman
Kesuksesan yang diraih
seseorang tak bisa dilepaskan dari sosok kharismatik seorang perempuan yang
memegang jabatan alami selaku emak, ibu, bunda, inang, indung, embok, nyak,
mama, dan mami. Emak menjadi sumber kesukesan, karena apapun yang diraih
seseorang, pastilah berawal dari hal paling kecil yang diajarkan seorang Emak
sejak di alam kandungan. Kasih sayang Emak tak lekang oleh waktu, menjadi
inspirasi paling menggugah dalam ruang kesadaran, dan membuat jiwa kehidupan
tak pernah mundur dalam menghadapi beragam tantangan.
Kejernihan jiwa seorang Emak
inilah yang dirasakan oleh Daoed Joesoef. Mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (1978-1983) di era Orde Baru yang rajin menulis ini mengakui dengan penuh
kesaksian bahwa yang diajarkan Emaknya sejak masa ayunan sampai sekarang masih
begitu membekas. Linangan air mata begitu deras menetes tatkala Daoed meraih
gelar doktoral di Sorbonne, Prancis, dengan prediket membanggakan, summa
cumlaude. Bukan karena dia orang pertama Indonesia yang meraih gelar
tersebut di Prancis, melainkan karena ketidakhadiran Emak yang telah mangkat ke
alam bakha yang membuatnya tak kuasa menahan tangis tatkala meraih gelar
doktoralnya.
Dengan begitu takzimnya,
Daoed dalam buku ini menyatakan bahwa Sang Emaklah yang telah menuntun
kehidupannya selama ini. Walaupun sang Emak tidak pernah mengenyam bangku
sekolah, tetapi Emak selalu membangun suasana nyaman Daoed dan saudaranya untuk
terus belajar tanpa henti. Emak, bagi Daoed, memang tak bisa baca latin,
apalagi bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis, tetapi keteguhan untuk belajar
Daoed dapatkan dari Emaknya. Emaklah yang menyekolahkan Daoed di Sekolah
Belanda, walaupun mendapatkan banyak kecaman dan cibiran dari warga sekitar. Emak
ingin sang anak, Daoed, kelak bisa menghentikan penajajahan Belanda, sehingga
Daoed harus menyelami ilmu pengetahuan yang dimiliki Belanda, barulah bisa
mengalahkan Belanda.
Nasionalisme Emak memang
luar biasa. Semangat membela Indonesia begitu menyala dalam diri Emak. Walaupun
hanya hidup di Kampung Darat di Medan, Sumatera Utara, Emak mengobarkan
semangat perjuangan keluarganya untuk bisa menjadi yang terbaik bagi Indonesia.
Membela Indonesia bagi Emak bukanlah dengan cara fisik mengangkat senjata, karena
tak mungkin Emak dan keluarga Daoed mengangkat senjata. Yang dilakukan Emak
adalah mengangkat pena dan akal, agar bisa cerdas dan berpendidikan, sehingga
gemuruh nasionalisme memancarkan lebih tajam. Indonesia harus dibela dengan
sesungguhnya, bukan sekedar ala kadarnya. Itulah Emak.
Dari Kampung Darat menuju
Sorbonne, Daoed tak bisa berkata apa-apa, kecuali: Emak! Ya, kegigihan yang
menancap dalam diri Daoed, sampai dia dipercaya Presiden Soeharto menjadi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tak lain karena ajaran keluhuran budi yang
diajarkan Emaknya. Bukan teori yang ndakik-ndakik yang diaplikasikan Daoed
tatkala menjabat Menteri Pendidikan, melainkan kejernihan hati dan keteguhan
prinsip yang diajarkan Emaknya yang selalu dia ingat untuk membangun karakter
pendidikan anak Indonesia saat itu.
*Litbang PW Fatayat NU DIY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar