Kamis, 24 Mei 2012

Resensi Buku


Kejernihan Hati Seorang Emak
Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*

Judul                : Emak: Penuntunku dari Kampung Darat sampai Sorbonne
Penulis             : Daoed Joesoef
Penerbit           : Buku Kompas Jakarta
Cetakan           : I, April 2010
Tebal               : 292 halaman
                     
Kesuksesan yang diraih seseorang tak bisa dilepaskan dari sosok kharismatik seorang perempuan yang memegang jabatan alami selaku emak, ibu, bunda, inang, indung, embok, nyak, mama, dan mami. Emak menjadi sumber kesukesan, karena apapun yang diraih seseorang, pastilah berawal dari hal paling kecil yang diajarkan seorang Emak sejak di alam kandungan. Kasih sayang Emak tak lekang oleh waktu, menjadi inspirasi paling menggugah dalam ruang kesadaran, dan membuat jiwa kehidupan tak pernah mundur dalam menghadapi beragam tantangan. 

Kejernihan jiwa seorang Emak inilah yang dirasakan oleh Daoed Joesoef. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983) di era Orde Baru yang rajin menulis ini mengakui dengan penuh kesaksian bahwa yang diajarkan Emaknya sejak masa ayunan sampai sekarang masih begitu membekas. Linangan air mata begitu deras menetes tatkala Daoed meraih gelar doktoral di Sorbonne, Prancis, dengan prediket membanggakan, summa cumlaude. Bukan karena dia orang pertama Indonesia yang meraih gelar tersebut di Prancis, melainkan karena ketidakhadiran Emak yang telah mangkat ke alam bakha yang membuatnya tak kuasa menahan tangis tatkala meraih gelar doktoralnya.
Dengan begitu takzimnya, Daoed dalam buku ini menyatakan bahwa Sang Emaklah yang telah menuntun kehidupannya selama ini. Walaupun sang Emak tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tetapi Emak selalu membangun suasana nyaman Daoed dan saudaranya untuk terus belajar tanpa henti. Emak, bagi Daoed, memang tak bisa baca latin, apalagi bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis, tetapi keteguhan untuk belajar Daoed dapatkan dari Emaknya. Emaklah yang menyekolahkan Daoed di Sekolah Belanda, walaupun mendapatkan banyak kecaman dan cibiran dari warga sekitar. Emak ingin sang anak, Daoed, kelak bisa menghentikan penajajahan Belanda, sehingga Daoed harus menyelami ilmu pengetahuan yang dimiliki Belanda, barulah bisa mengalahkan Belanda.  

Nasionalisme Emak memang luar biasa. Semangat membela Indonesia begitu menyala dalam diri Emak. Walaupun hanya hidup di Kampung Darat di Medan, Sumatera Utara, Emak mengobarkan semangat perjuangan keluarganya untuk bisa menjadi yang terbaik bagi Indonesia. Membela Indonesia bagi Emak bukanlah dengan cara fisik mengangkat senjata, karena tak mungkin Emak dan keluarga Daoed mengangkat senjata. Yang dilakukan Emak adalah mengangkat pena dan akal, agar bisa cerdas dan berpendidikan, sehingga gemuruh nasionalisme memancarkan lebih tajam. Indonesia harus dibela dengan sesungguhnya, bukan sekedar ala kadarnya. Itulah Emak.   

Dari Kampung Darat menuju Sorbonne, Daoed tak bisa berkata apa-apa, kecuali: Emak! Ya, kegigihan yang menancap dalam diri Daoed, sampai dia dipercaya Presiden Soeharto menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tak lain karena ajaran keluhuran budi yang diajarkan Emaknya. Bukan teori yang ndakik-ndakik yang diaplikasikan Daoed tatkala menjabat Menteri Pendidikan, melainkan kejernihan hati dan keteguhan prinsip yang diajarkan Emaknya yang selalu dia ingat untuk membangun karakter pendidikan anak Indonesia saat itu.

*Litbang PW Fatayat NU DIY

Tidak ada komentar: