Sabtu, 17 Desember 2011

Artikel 7

POTRET BURAM PEREMPUAN DALAM IKLAN TELEVISI
Oleh: Ening Herniti

Iklan merupakan kegiatan yang memegang peranan penting dalam dunia bisnis karena dengan iklan masyarakat atau calon konsumen akan mengenal produk tersebut. Iklan adalah suatu kegiatan menyampaikan berita agar produk yang dimaksud disukai, dipilih, dan dibeli.
      Media yang dipandang sangat efektif untuk mempromosikan produk adalah televisi karena memadukan penglihatan, bunyi, gerak, dan warna. Oleh karena itu, televisi dijadikan medium nomor satu oleh para pengiklan nasional.
    Perempuan dari sudut mana pun selalu menarik untuk diperbincangkan dan diperdebatkan seakan tak pernah lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Perempuan tidak hanya menarik bagi kaum laki-laki, tetapi juga

Kesehatan


Pre-menstruation Syndrome
(PMS)

Hampir separuh populasi wanita dewasa mengalami sindrom pra-menstruasi alias PMS (pre-menstruation syndrome). Gejalanya sangat beragam dan acap kali berbeda antara penderita yang satu dengan yang lain. Ada empat tipe PMS yang masing-masing memiliki gejalanya sendiri.
Gangguan kesehatan berupa pusing, depresi, perasaan sensitif berlebihan sekitar dua minggu sebelum haid biasanya dianggap hal yang lumrah bagi wanita usia produktif. Sekitar 40% wanita berusia 14 - 50 tahun, menurut suatu penelitian, mengalami PMS. Bahkan survai tahun 1982 di Amerika Serikat menunjukkan, PMS dialami 50% wanita dengan sosio-ekonomi menengah yang datang ke klinik ginekologi.
PMS memang kumpulan gejala akibat perubahan hormonal yang berhubungan dengan siklus saat ovulasi (pelepasan sel telur dari ovarium) dan haid. Sindrom itu akan menghilang pada saat

Tahukah Anda?

Mengapa Bayi Menangis Setelah Dilahirkan?


Tahukah Anda mengapa bayi menangis setelah dilahirkan? Ternyata jika bayi terpisah hingga enam jam saja, daya tahannya turun 50 persen karena hormon stres bayi naik dua kali lipat. Keadaan ini wajar karena selama sembilan bulan dalam kandungan, bayi terbiasa dengan detak jantung ibu. Jadi, ia menangis bukan karena lapar karena menurut Dr. Utami Rusli (Ketua Umum Sentra Laktasi Indonesia) dalam 48 jam pertama kehidupannya, bayi tidak membutuhkan makanan sebab bayi sudah dibekali dari dalam perut ibunya. Sesungguhnya yang dibutuhkan adalah sentuhan ibu. 

(Ening Herniti, Litbang)

-----------------------------------
 
Tuhan itu Siapa?


Kepolosan anak-anak terkadang sanggup membuat kita terheran-heran atau bahkan kehabisan kata-kata. Sering kali dari mulut mungil mereka muncul pertanyaan yang tak terduga sebelumnya, terutama ketika si filsuf kecil bertanya tentang Tuhan. Apa kira-kira jawaban Anda? Tolong, jangan tergesa-gesa menjawab apalagi sampai membentaknya atau berbohong. Pertanyaan itu mucul sebagai bentuk respon terhadap kemegahan alam yang merupakan salah satu bentuk pengalaman spiritual yang dialami anak-anak.
            Harold S. Kushner dalam bukunya yang berjudul When Children Ask About God menyebutkan bahwa pikiran anak-anak haus akan sesuatu yang nyata, konkret, dan jelas. Mereka akan menerjemahkan abstraksi tersebut ke dalam sesuatu yang lebih mudah dicerna.
            Dalam teorinya mengenai psikologi perkembangan kognitif, Jean Piaget, filsuf sekaligus psikolog perkembangan kelahiran Swiss, menyebutkan bahwa anak usia 2-7 tahun sedang berada dalam tahap pra-operasional (pre-operational stage). Pada tahap ini, anak sudah bisa membayangkan wujud benda sekalipun benda tersebut tidak ada di hadapannya. Anak sudah mulai mengerti, bahwa benda yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Contohnya, ketika bonekanya disembunyikan, si kecil tahu bahwa boneka itu ada, tapi tidak bisa dilihatnya. Atau Katakan, Tuhan itu tidak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan. Sama seperti angin. Adik bisa merasakan angin tapi tidak bisa melihatnya, kan?

Dialog Ekonomi

Strategi Pemberdayaan Perempuan melalui Penguatan Ekonomi di Bidang Koperasi dan Usaha Mikro



       Permasalahan perempuan yang selama ini masih belum dapat dielakkan, baik kekerasan dalam bentuk fisik maupun psikologi. Permasalahan ini dapat disebabkan dari permasalahan ekonomi. Permasalahan ekonomi mengakibatkan masalah ketidakadilan, ketimpangan posisi tawar baik yang dilakukan oleh orang lain, keluarga, atau masyarakat secara umum. Melihat hal ini Fatayat tergerak untuk menguatkan pemberdayaan ekonomi perempuan. Dalam hal ini Fatayat tidak hanya berbicara masalah hukum maupun pengkaderan, namun juga realita yang terjadi di masyarakat. Isu strategi pemberdayaan perempuan merupakan permasalahan kongkrit dari massa Fatayat.yang terdiri dari kaum perempuan. Sehingga pemberdayaan ini perlu ditingkatkan dalam bentuk riil. Ini disampaikan oleh Siti Rohmah Nurhayati, M.Si dalam kegiatan Dialog ekonomi dengan tema ”Strategi Pemberdayaan Perempuan Melalui Penguatan Ekonomi di Bidang Koperasi dan Usaha Mikro”    Bertempat di Asram Galeri, bertepatan dengan hari koperasi pada tanggal 12 Juli 2008. Salah satu pembicara  dalam kegiatan ini Hafidz Asrom, .M.M, yang memberikan motivasi mengenai kewirausahaan. Jiwa kewirausahaan perlu ditumbuhkan tidak hanya dalam lingkup sekolah, namun

Fikih Perempuan

Hukum Haid


Islam adalah agama yang sempurna. Permasalahan peribadahan kepada Allah swt., aturan muamalah sesama manusia, masalah kepemerintahan sampai dengan masalah buang haid pun telah dikupas dalam Islam. 

Definisi Haid
      Haid menurut bahasa berarti mengalir sedangkan pengertian secara syar'i adalah darah yang keluar dari bagian dalam rahim wanita pada waktu-waktu tertentu, bukan karena sakit atau terluka.
Umur Wanita Haid
          Umur wanita haid secara umum minimal berusia s

Tips

Agar ASI Lancar


Sering kali beberapa ibu mengeluh mengapa ASI-nya tidak keluar atau hanya sedikit. Padahal, dalam banyak kasus ASI tidak keluar karena ketidaktahuan ibu. Berikut beberapa tips agar ASI lancar menurut Erfin Sulistiyowati, Nutritionist dan Trainer Kalbe Nutritionals.
  1.  Lakukan inisiasi menyusu dini (IMD) segera setelah bayi lahir. IMD dapat dilakukan dengan

Sentilan

Kekerasan yang dilakukan gank remaja putri  terjadi di Pati dan Belitung.
(“Emansipasi” nii yee…)

Kenaikan BBM bedampak berkurangnya daya beli masyarakat dan budaya kencangkan ikat pinggang harus lebih digalakkan.
(Sayang, kenaikan demi kenaikan harga menyebabkan

Mutiara Hikmah


Cinta


  • Cinta adalah janji hati juga sebuah harapan yang digelitik oleh kerinduan.
  • Cinta adalah semburat cahaya yang menerangi tiap relung jiwa, tetapi akan menjadi kegelapan bila nafsu datang mengotorinya.
  • Pernikahan bukanlah puncak dari cinta, tetapi awal perjuangan dalam menapaki cinta yang sesungguhnya.
     (Ening Herniti)


Kesetaraan

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan bukanlah kata-kata belaka, namun merupakan sesuatu yang nyata. Agama menyapa perempuan persis sebagaimana menyapa laki-laki. Tokoh-tokoh agama dan berbagai tradisilah yang menciptakan jurang yang luas antara laki-laki dan perempuan (Dr. Ahmad Badrudin Hassoun)

Profile


Mbak Entis: Perempuan Inspirator*

Khairatun Khissan yang lebih akrab dipanggil Mbak Entis lahir sebagai anak ke- 6 dari 7 bersaudara dari pasangan Muhammad Tolhah Mansur (salah satu pendiri IPNU, Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga) dan Umroh Mahfudzoh (salah satu pendiri IPPNU dan satu-satunya perempuan yang pernah menjabat menjadi ketua partai PPP). Ia terlahir di Yogyakarta, 8 Januari 1970.
Panggilan Entis berawal dari kesulitan memanggil nama panggilannya di rumah, yakni Khis. “Guru TK Tri Pusara Rini memanggil nama saya Entis. Justru dari nama itulah, saya kemudian lebih dikenal, bukan nama Khis atau Khairatun Khissan”, demikianlah sepenggal cerita pembuka dari Mbak Entis, ketika kami mengunjunginya di rumah kakaknya, di Pondok Pesantren Suny Darussalam, Kalasan.
Berlatar belakang keluarga yang sangat mencintai pengembangan keilmuan dan organisasi, ia sangat akrab dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu, termasuk ilmu budaya, khususnya dalam bidang seni.
Sejak dari TK sampai pendidikan perguruan tinggi, bakat dan minatnya di bidang seni suara dipelajarinya secara simultan. Mulai dari pengasahan bakat seni suara/nyanyi dan membaca Quran dengan indah (Qiro’ah) dijalaninya di bawah bimbingan guru-guru sekolah dan guru kursus Qiro’ah dari Masjid Syuhada’. Mbak Entis juga sempat masuk memperkuat barisan Grup Samrohan El Nabil yang beranggotakan putra-putra dosen IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN Sunan Kalijaga). Grup ini menurutnya, cukup eksis dan berkualitas dalam pola latihan di bawah pengajaran Mbak Titik dan Mbak Yanti, sehingga tidak jarang/sering meraih juara pertama dalam even-even lomba Samrohan tingkat DIY.
Cita-cita awal sejak kecil adalah menjadi seorang penyanyi. Semenjak duduk di tingkat dasar, ia mengikuti grup qasidah, main musik kolintang, drumband, dan bahkan menari Melayu. Semuanya atas izin keluarga, tetapi Abahnya melarang ketika ia mempelajari tari Bali. Cita-citanya kemudian bergeser ingin menjadi ‘tukang insinyur’ dan diperjuangkan ketika nilai fisikanya sangat bagus sewaktu di MTs Negeri 2. Mbak Entis ingin meneruskan ke STM jurusan elektronika, tetapi keinginannya ditolak oleh Abahnya dan diarahkan ke MAN 1. Akhirnya, ia masuk ke jurusan biologi walaupun semula ingin masuk jurusan fisika. Setamat dari MAN, ia mengambil S1 IAIN Fak. Syari’ah Jur. Tafsir Hadis.
Bertolak dari kecintaannya terhadap seni budaya sejak kecil tersebut, Entis kecil semakin matang dalam usia dan pemahamannya tentang hidup. Dukungan yang sangat besar dari lingkungan keluarganya, terutama Abah dan Ibunya yang notabene adalah tokoh yang tidak diragukan kredibilitasnya di bidang pengembangan ilmu dan organisasi serta kemasyarakatan, Mbak Entis semakin kokoh dalam menentukan prinsip dan orientasi hidupnya. Menurutnya, ukuran sukses seseorang tidak bisa dilihat dari takaran martabat, kekayaan, atau pun titel yang disandangnya. Dari perkenalan dan pergaulannya yang diamati di lingkungan pedesaan, dia semakin yakin bahwa yang paling dibutuhkan oleh sesama manusia bukanlah semua takaran tersebut, melainkan ketulusan dan kesungguhan manusia untuk berbagi/memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada sesama manusia. Sebenarnya ini adalah aplikasi dari hadis Nabi yang berbunyi “Khoirunnnas anfa’uhun linnas”, lanjutnya. Selanjutnya, menjadi tugas kita bersama mengubah keadaan umat yang belum kondusif menjadi keadaan yang kondusif. Untuk melakukan perubahan dalam masyarakat, media yang paling ampuh menurutnya adalah melalui budaya. Bertitik tolak dari pandangan itu, Mbak Entis memantapkan diri untuk melanjutkan studinya di Pasca Sarjana Sanata Dharma konsentrasi Ilmu Religi dan Budaya.
Mbak Entis memulai aktif di Fatayat DIY sejak masa khidmat 1996-2001 sebagai pengurus PW Fatayat DIY pada bidang organisasi dan pendidikan kader. Pada tahun 2001-2006, ia diberi amanah sebagai ketua umum PW Fatayat DIY. Pada masa khidmat 2006-2010, ia menjadi direktur eksekutif Lembaga Konsultasi dan Pemberdayaan Perempuan (LKP2) PW Fatayat DIY.
Melalui kiprahnya lewat organisasi Fatayat dan keaktifannya dalam berbagi komunitas seni, termasuk seni tulis-menulis, Mbak Entis bisa dijadikan inspirator bagi perempuan. Dengan melalui perjuangan yang tentu tak cukup mudah, akhirnya Mbak Entis bisa menyelesaikan studi S2-nya dan berhasil menghasilkan tesis yang kemudian diterbitkan oleh LKIis dengan judul LESBUMI: Strategi Politik Kebudayaan pada tahun 2008. Riset tesisnya dibiayai Asia Research Institute (ARI) dengan pembimbing Dr. Budiawan dan Dr. Jennifer Lindsay. Riset pustaka tesisnya dilakukan di National University Singapore (NUS).
Selain itu, Mbak Entis yang notabene lahir dan kental dengan budaya serta lingkungan Nahdhatul Ulama (NU), membuat ia ‘sekan-akan’ dijadikan narasumber tentang semua hal yang berkaitan dengan NU oleh komunitas kampusnya di Sanata Dharma.
Dalam segala kesibukannya, Mbak Entis masih merasakan sebuah kegalauan, khususnya dalam organisasi Fatayat yang digelutinya selama ini. Menurutnya Fatayat sekarang perlu berbenah lebih intens dengan pendekatan budaya. Menurut Mbak Entis, Fatayat dulu bila menilik sejarah, lahir dari dan untuk masyarakat pedesaan dan pondok pesantren. Namun dengan berjalannya waktu, seakan ada jembatan yang terputus antara pengurus/kegiatan fatayat dan kegiatan/ruh masyarakat pedesaan dan pondok pesantren yang melahirkannya. Selain itu, juga budaya tulis-menulis di kalangan NU bisa dikatakan masih sangat memprihatinkan, sehingga pernah satu kali kesempatan, lantaran dipandang bisa menulis, Mbak Entis pernah diminta untuk menulis sesuatu yang bukan bidang garapannya.
            Selamat ya Mbak Entis. Teruslah berkarya dan kami tunggu realisasi program-program LKP2.

(NI’mah A. dan Imelda F., Litbang PW Fatayat DIY)

Diskusi Pengembangan Diri


Cantik Luar-Dalam
Oleh: Imelda Fajriati*







Cantik dan cerdas adalah dua hal yang terkadang tidak dapat bersanding sejajar. Perempuan cantik biasanya daya pikirnya tidak terlalu cemerlang. Perempuan cerdas umumnya tidak terlalu cantik. Namun stereotipe tersebut tidak selamanya benar. Setidaknya anggapan itu mencoba untuk ditepiskan oleh PW Fatayat DIY dengan mengadakan Pelatihan  Pengembangan Diri: Sukses Hidup melalui Keseimbangan Keterampilan Intrapersonal dan Interpersonal bagi Pengurus Fatayat Wilayah serta beberapa utusan pengurus cabang Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul, Sleman, dan Bantul. Pelatihan yang diselenggarakan hari Sabtu tanggal 2 Februari 2008 bertempat di kantor PW NU DIY mengupas persoalaan yang seringkali dijumpai dalam praktik kehidupan sehari-hari seperti bagaimana cara berpakaian, beretika, serta berkomunikasi dengan orang lain. Materi tentang personality yang disampaikan oleh praktisi Pengembangan Diri, H.P. Wulandari, S.E., M.M. cukup menarik untuk dicermati walaupun ada beberapa peserta yang berpikir seolah-olah akan ”diselebritiskan”.
      Pemateri membuka pelatihan dengan teori pengembangan diri. Menurut W. Strem kebribadian manusia terbentuk dari hasil interaksi nature dan nurture. Nature adalah sifat manusia yang terbentuk dari hasil bawaan sejak lahir dan sangat bergantung pada potensi yang dimilikinya. Nurture adalah sifat kepribadian manusia yang terbentuk dari lingkungan.
      Kepribadian dapat dilihat dari tiga aspek, yakni morfologi, astrologi,  dan psikogonomi (zaman pra ilmiah). Morfologi berisi ramalan tentang sifat seseorang. Contoh, tulisan tangan dilihat dari panjang pendek ukuran huruf/tulisan, sehingga dapat menentukan sifat seseorang. Astrologi: sifat seseorang yang dilihat dari sisi dia dilahirkan. Psikogonomi; dapat dilihat dari bentuk bagian anggota tubuh, seperti kening, alis, mata, dan sebagainya.
            Peserta diberi tips dan cara menampilkan karakternya dengan tetap menjunjung etika. Beberapa dasar tata krama yang baik dapat menjadi sarana berhubungan baik dengan orang lain, disenangi orang, dihormati, dan disegani. Dasar-dasar tata krama yang baik antara lain, niat yang baik, selalu mempergunakan kata-kata yang baik dalam bertutur, tidak sombong, menghargai orang lain, toleransi, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan mampu mengendalikan emosi. Orang-orang yang tidak memahami tata krama seringkali akan mendapatkan kesalahpahaman, perselisihan, dan kritik negatif dari seseorang.
Ada banyak hal yang dipelajari dalam pengembangan kepribadian seseorang. Dalam diri manusia secara sunnatullah mempunyai kelemahan dan kekurangan, tatapi manusia tidak boleh pasrah menerima keadaan begitu saja. Bagi manusia atau seseorang yang ingin menjadi lebih baik, tentu harus ada keinginan untuk meminimalisasi kelemahan dan mengeksplorasi kelebihan dalam dirinya sehingga menjadi lebih positif. Mengubah kelemahan menjadi kelebihan adalah suatu hal harus dilakukan. Oleh karena itu, peserta juga dibekali Jauhari Windows, yakni suatu cara untuk mengenal diri sendiri. Dengan mengenal diri sendiri akan memudahkan memahami orang lain. Ada empat bagian dalam teori Jauhari Windows. Pertama, daerah terbuka, yakni saya tahu dan orang lain tahu, sehingga dapat  menghasilkan hal-hal yang positif dan produktif. Kedua, daerah pribadi, yakni saya tahu tapi orang lain tidak tahu. Ketiga, daerah gelap, yakni saya tidak tahu tapi orang lain tahu. Keempat, daerah misteri, yakni saya tidak tahu dan orang lain tidak tahu (contoh: kejadian meninggal).
           
Pelatihan pengembangan diri semacam ini memang akan selalu menarik karena berkaitan dengan kemajuan diri seseorang. Semoga bermanfaat.

*Litbang PW Fatayat DIY

Partisipasi Kegiatan


 Seminar “Menatap Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia” diselenggarakan pada hari Senin, 11 Juni 2007, pukul 09.00-13.00 WIB, bertempat di Auditorium Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Pembicara seminar ini adalah Susetiawan yang mengambil tema "Kebebasan Beragam: Tantangan bagi Institusi Agama di Masa Depan". Kautsar Azhari Noer berbicara tentang "Merengkuh Kebebasan di Tengah Ancaman Fanatisme". Sementara itu, Siti Ruhaini Dzuhayatin mengangkat "Kebebasan Beragama: Perspektif Perempuan". Seminar yang diselenggarakan Jarik (Jaringan Islam Kampus) dihadiri oleh kurang lebih 75 peserta dari berbagai organisasi keagamaan termasuk PW Fatayat DIY.
Forum diskusi ini mendiskusikan bahwa kebebasan adalah hak setiap individu, termasuk kebebasan beragama. Orang-orang yang menghindari kebebasan sesungguhnya akan menjadi musuh kebenaran karena kebebasan itu sendiri adalah kebenaran. Kekuasaan negara atau kekuasaan melalui negara adalah alat yang paling ampuh untuk membungkam kebebasan yang dianggap merusak peraturan-peraturan, hukum-hukum, dan perundang-undangan yang dibuat oleh rezim yang berkuasa.
Fatayat DIY kembali diundang untuk menghadiri seminar internasional "Cultural Diversity and Social Equity in Indonesia and Canada: Comparatie Perspectives" yang diselenggarakan pada 10 Desember 2007. Seminar ini terselenggara berkat kerja sama UIN Sunan Kalijaga dengan Kedutaan Kanada. Pembicara seminar ini adalah R. Philip Buckley (McGill University) yang berbicara tentang "Identity, Difference, dan Pluralism". Sementara itu, Ratno Lukito mengulas "The Politics of Pluralism in Indonesia: Understanding State's Rational Approach to Legal Pluralism". Mujiburrahman membidik masalah "State Policies on Religious Diversity in Indonesia".
Pemda DIY mengadakan seminar setengah hari dengan tema “ Reorientasi Kebangsaan melalui Pemahaman Budaya Bangsa Indonesia” di Gedung Kepatihan, DIY. Pembicara seminar tersebut adalah HM Nasruddin Anshory (Pengasuh Pesantren Ilmu Giri), Prof. Dr. Wuryadi (Dewan Pendidikan dan Pakar Pendidikan dari UNY), dan Prof. Dr. Arya Putu ( Pakar Politik dari FISIPOL UGM), serta Sekwilda DIY. Seminar yang dihadiri oleh sekitar 40 utusan organisasi di DIY, termasuk utusan dari PW Fatayat DIY, membahas keterpurukan bangsa Indonesia dari segi politik, pendidikan, dan ekonomi.

Pengajian Rutin

Pengajian fiqh perempuan PW Fatayat DIY diselenggarakan tiap Ahad Legi.

Kegiatan

Raker PW Fatayat NU DIY
Raker diselenggarakan pada 19 Maret 2007 di Hotel Istana Yogyakarta. Beberapa rencana kerja antara lain pendampingan perempuan (korban), kajian kritis terhadap kebijakan hukum, penyuluhan tentang kesehatan reproduksi  dan kesehatan mental, Seminar "Mengantisipasi Perselingkuhan" dll.


Rangkaian Harlah Fatayat NU ke-57
Ahad, 22 April 2007 (09.00-12.00) WIB bertempat di Gedung GMNU DIY diadakan Sarasehan Kesehatan Reproduksi Remaja. Sebagai narasumber yaitu Kartika Nur Fathiyah, M.Si., Psi. dan dr. Mahmudah Hidayati, M.Kes. Pukul 13.00-16.00 WIB diselenggarakan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis
Pengajian umum pada tanggal 29 April 2007 pukul 09.00 WIB bertempat di Gedung GMNU DIY Sudagaran dengan pembicara H. Abdul Mustaqim, M.Ag. dan Ana Nur Latifah (Juara Pildacil Kulon Progo).


Konser “Satu Hati”, Mengenang Satu Tahun Gempa
Mengenang Gempa Bumi yang mengguncang Yogya 27 Mei 2006, PW Fatayat NU DIY bekerja sama dengan PP Lesbumi dan PT. Djarum menggelar Konser Satu Hati. Bertempat di Lapangan Wonokromo, Pleret, Bantul konser tanggal 27 Mei 2007 dimeriahkan oleh artis ibu kota, yaitu Tri Utami, Mel Shandy, dan Dara KDI dengan iringan kelompok musik Ki Ageng Ganjur. Konser yang dilaksanakan pada hari Ahad tanggal 27 Mei 2007 ini didahului dengan acara pembukaan dilanjutkan dengan istighosah dipimpin oleh KH. Nawawi Abdul Aziz serta penampilan Group Hadroh Qotrun Nada dan penyanyi cilik Atya.

Pelantikan Pengurus PW DIY

 Pelantikan PW Fatayat NU DIY






Setelah melaksanakan Konferensi Wilayah pada tanggal 21-22 September 2006 di Hotel Pakumas Yogyakarta dan melaksanakan rapat Formatur, PW Fatayat NU DIY menggelar pelantikan. Acara yang dilaksanakan bersama-sama dengan pelantikan PWNU DIY dan PW IPPNU DIY ini berlangsung pada tanggal 18 Februari 2007 di Grha Sabha Pramana UGM.
Pelantikan dilakukan oleh Ketua Umum PP Fatayat NU, Hj. Maria Ulfah Ansor, M.Si. Ia juga menjadi nara sumber pada Sarasehan PW Fatayat NU di Wisma Kagama UGM. Sarasehan intern warga Fatayat NU DIY ini mengambil tema “Membangun Jaringan, Mengembangkan Kepedulian Sosial”. Pada acara sarasehan yang juga mengundang PC Fatayat NU se-DIY ini dilakukan dialog untuk memberi kesempatan pada warga Fatayat NU DIY menyampaikan berbagai kritik, saran, dan harapan pada PP Fatayat NU dan PW Fatayat NU DIY yang baru saja dilantik.
      
     Selamat dan semoga bermanfaat...



Artikel 6


Bangkit dan Bersatulah
Oleh: Ni'mah Afifah*

H.M. Nasruddin Anshory mengungkapkan bahwa sekalipun telah 62 tahun Indonesia merdeka, sesungguhnya beberapa segmen masyarakat Indonesia saja yang merasakan adanya keindahan kemerdekaan, melalui kemudahan dalam menerima akses-akses kehidupan. Sementara mayoritas bangsa ini masih berada di bawah tekanan demi tekanan yang membuat kualitas kehidupan mereka berada di bawah standar kelayakan sebagai sebuah bangsa yang terkenal melimpah sumber daya alamnya. Keterpurukan tersebut menurut Nasruddin berakar dari beberapa faktor, antara lain adalah rapuhnya ikatan (sense)  antarmasyarakat sebagai satu bangsa. Padahal bila menenngok sejarah kemerdekaan Indonesia, kita sudah diberi teladan mulia bagaimanan para pecinta tanah air ini rela berkorban apa saja, tidak hanya untuk dirinya pribadi, keluarganya ataupun kelompoknya. Perjuangan para pejuang kemerdekaan tersebut didasarkan pada kecintaan pada bangsanya, yakni yang terdiri dari tanah air serta masyarakat yang mendiaminya. Fenomena yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini semakin menunjukkan lemahnya sense sebagai satu bangsa tersebut. Kekuatan ekonomi, politik, dan semacamnya lebih berorientasi pada kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya. Jargon-jargon untuk kepentingan bangsa hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka pribadi.
Senada dengan yang disampaikan HM Nasruddin di atas,  Prof. Dr. Wuryadi juga menyayangkan adanya salah orientasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah pada masa kini. Pemberlakuan sistem ujian akhir nasional (UAN) yang menuntut adanya standardisasi kelayakan lulus yang ditentukan oleh BNSP, dinilai tidak arif jika dipandang dari kerangka orientasi kebangsaan. Sistem kompetisi yang dibatasi pada nilai-nilai mata pelajaran (mapel) tertentu menurut beliau sudah menyimpang dari nilai tradisi bangsa Indonesia yang tidak menuhankan kompetisi untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan bangsa menilik sejarah yang ada, menurut beliau tidak didasarkan pada kompetisi baik antarsuku, golongan, atau masyarakat tertentu, tetapi didasarkan pada rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan semangat bersinergi satu sama lain. Bangsa Indonesia harusnya bangga karena dalam catatan sejarah tidak hanya mampu membangun sebuah negara, tetapi sebuah bangsa. Banyak negara yang merasa iri akan hal tersebut, seperti negara Malaysia yang memiliki negara tetapi masih belum bisa membentuk masyarakat yang tinggal di Malaysia sebagai bangsa Malaysia sebagaimana di Indonesia.
Dalam konteks pendidikan, sistem kompetisi instan tersebut akan memberi dampak buruk pada psikologi anak dan dunia pendidikan pada umumnya. Secara psikologis, anak yang dibiasakan berkompetisi akan selalu merasakan ketidaknyamanan/ketakutan (insecure), baik yang belum pernah jadi juara apalagi yang sudah menjadi juara. Kompetisi tersebut akan mengikis rasa kebersamaan sebagai sebuah tim, baik dari tingkat bawah ( kecil) maupun tingkat atas (lebih besar), sebagai sebuah bangsa. Penghargaan kualitas orang pun akan menjadi picik, karena digiring ke sebuah pemahaman bahwa yang dinilai sukes pendidikannya terstandardisasi pada keluluan beberapa mapel tertentu. Dalam kenyatannya, realitas di lapangan menunjukkan tingginya tingkat stres anak didik terhadap penentuan hasil UAN dan munculnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam upaya menghindari stigma anak didiknya bodoh karena tidak lulus UAN tersebut. Lebih lanjut beliau menyampaikan adanya ketidakkonsistenan kebijakan pendidikan yang lain, misalnya akan diberlakukannya UAN untuk anak SD. Menurut beliau hal tersebut menyimpang dari kebijakan pemerintah yang lain, yakni pendidikan dasar kini sampai tingkat SMP. Jadi, andainya pun diberlakukan UAN untuk pendidikan dasar, minimal harus pada tingkat ujian akhir SMP. Prof. Dr Wuryadi mengusulkan untuk kembali mengorientasikan pendidikan di Indonesia pada nilai kebangsaan yang terekam dalam karakter budaya bangsa. Salah satunya adalah membudayakan motivasi belajar adalah karena senang belajar bersama-sama (society) atau karena keinginan tahu ( curiosity) bukan karena didasarkan pada motivasi ingin menjadi juara( achiever) terlebih karena didasarkan pada adanya perintah dari pihak luar.( instruction)   
Prof. Dr Arya, pakar politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, dan Sekwilda DIY memperkuat perlunya reorientasi kebangsaan untuk bidang politik. Perpolitikan di Indonesia harus berorientasikan dibaktikan untuk seluruh bangsa, bukan untuk golongan/kelompok tertentu. Adanya kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah merupakan salah satu aplikasi dari adanya kewenangan yang bertanggungjawab dari tiap daerah kepada bangsanya. Sekalipun memiliki misi yang positif, dalam pelaksanaannya harus terus dikontrol, baik oleh lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri. Salah satu bentuk kontrolnya adalah terhindarnya pemerintah daerah dalam menjual aset-aset daerah kepada pihak asing tanpa pertimbangan kepentingan bangsa, semisal penjualan pulau.
Berbagai fenomena keterpurukan nasib bangsa Indonsia baik di bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor mendasarnya adalah kurangnya semangat kebangsaan dan cinta atau melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang luhur. Semangat membela nilai budaya bangsa tidak hanya terhenti pada semangat membela klaim-klaim produk budaya bangsa yang hendak diklaim negara lain. Budaya bangsa dalam konteks ini lebih menekankan pada sisi nilai-nilai yang terangkum dalam pola pikir bangsa Indonsia dalam keseharian, seperti berjuang untuk kepentingan anak cucu bangsa ini, bukan semangat berkompetisi untuk bisa mengalahkan atau tak acuh terhadap kepentingan kelompok di luarnya.

*Litbang PW Fatayat DIY

Sharing


Perempuan oh Perempuan ...
Oleh: Ening Herniti*


Kecantikan adalah anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri. Tetapi, tak jarang kecantikan dapat membawa petaka bagi pemiliknya bila tidak mampu menempatkan anugerah yang terindah tersebut pada tempatnya. Sebagian perempuan berjuang mati-matian agar diakui eksistensi dirinya. Namun, sebagian besar perempuan lainnya menghianati kaumnya sendiri demi sesuap nasi, kepopularitasan, dan gaya-gayaan.
Sering kali kita harus membaca istighfar (atau alhamdulillah?) bila melihat cover tabloid atau majalah yang sangat mempertontonkan keindahan tubuh perempuan hanya untuk menarik konsumen. Hal inilah yang patut dipertanyakan perempuan tak ubahnya barang komoditi untuk diperjualbelikan. Saya yakin perempuan yang sedang memperjuangkan haknya akan mengelus dada dan geleng kepala.
Para aktivis perempuan memprotes keras atas pemajangan perempuan dalam iklan yang hanya dimanfaatkan untuk menarik konsumen. Namun, hal itu dianggap sebagai angin lalu semata. Demikian halnya dengan hadirnya perempuan dalam sinetron yang sering kali tidak menampilkan kekuatan acting si tokoh, tetapi lebih pada kemolekan dan kecantikan semata. Akibatnya, banyak kaum perempuan yang terbawa arus dalam meniru gaya berpakaian, cara jalan, dan cara berbicara para bintang iklan dan sinetron agar dianggap perempuan modern.
Sebenarnya fenomena semacam itu, perempuan dieksploitasi oleh media massa ataukah perempuan mengeksploitasi diri sendiri demi kepopularitasan semata? Ini merupakan bahan perenungan bagi kita agar lebih sadar diri bahwa tidak akan pernah ada orang yang merendahkan kita bila kita menghargai diri sendiri. Tidak akan pernah ada yang menghormati dan mengakui eksistensi kita bila cara pandang dan pola pikir kita masih pada stretotipe lama bahwa perempuan hanya dapat mengandalakan kemolekan tubuh dan kecantikan wajah.
Malu rasanya bila mengingat sosok perempuan tegar, R.A. Kartini, yang pada masanya sudah tergugah untuk mensyukuri nikmat Allah yang tak ternilai harganya, yakni akal. Ia sudah berpikiran maju untuk belajar dan belajar meski adat dan budaya Jawa pada saat itu merantai dan mengkungkungnya. Kartini sebagai perempuan cerdas pada masanya telah menyadari bahwa perempuan akan diakui eksistensinya sebagai manusia bila ia belajar membaca dan menulis sehingga dapat menyibak tabir kebodohannya. R.A. Kartini mengerti benar bahwa perempuan akan dihargai dan diakui keberadaanya dengan budi pekerti yang tinggi dan kecerdasan/kepandaiannya. Perempuan sekarang seharusnya lebih bersyukur karena kita lebih leluasa untuk mengembangkan diri. Rasanya kita nyaris kembali masa purba karena perempuan hampir tidak malu lagi menampakkan dada, paha, dan pusar di mana-mana. Keindahan tubuh perempuan yang sepatutnya dijaga dan disimpan dengan baik, kini telah dipamerkan dengan leluasa. Padahal, kita sangat primpen menyimpan emas dan permata agar tidak dicuri. Ataukah keindahan tubuh perempuan nilai dan harganya jauh lebih rendah daripada emas dan permata? Biarkan hati nurani kita yang menjawabnya. Hanya saja, tidak terbayangkan bagaimanakah generasi bangsa ini bila perempuan Indonesia masih terpuruk pada bupati (buka paha tinggi-tinggi) dan sekwilda (sekitar wilayah dada) saja.
Berhentilah memperingati Hari Kartini yang diselenggarakan tiap tanggal 21 April bila kita tidak sadar juga akan eksistensi kita sebagai manusia yang telah dikarunia Tuhan akal untuk membaca zaman. Hakikat peringatan Hari Kartini bukan sekedar upacara atau lomba memasak, peragaan busana, atau sejenisnya, tetapi lebih pada melanjutkan perjuangan beliau. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

* Koordinator Litbang PW Fatayat DIY



----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bagaimana Mengelola Uang Anda?
Oleh: Kiromim Baroroh*



Mengelola keuangan dalam keluarga tidak lepas dari masalah konsumsi. Setiap keluarga mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam melakukan konsumsi. Kecenderungan mengonsumsi disebut dengan pola konsumsif. Hal ini terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi, yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam individu tersebut. Faktor ini meliputi pendapatan, motivasi, sikap dan kepribadian, serta selera.
Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka cenderung konsumsinya semakin besar. Semakin rendah pendapatan konsumen, maka semakin rendah konsumsi yang dilakukan. Motivasi konsumsi antara orang yang satu dengan orang lain berbeda. Ada orang yang mengonsumsi karena untuk memenuhi kebutuhan, namun ada pula yang karena ikut-ikutan. Orang yang lain mengonsumsi karena ingin memperlihatkan status sosialnya atau gengsi.
   Sikap dan kepribadian individu juga turut memengaruhi perilaku konsumsinya. Orang yang cenderung boros akan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak direncanakan dan dibutuhkan. Orang yang menyukai lukisan kuno akan membeli lukisan yang sudah kuno dengan harga yang tinggi, sedangkan orang yang tidak menyukai lukisan kuno tidak akan mau membeli walaupun murah. Bahkan diberi secara gratis pun kemungkinan juga tidak bersedia menerima.   Pola konsumsi juga dipengaruhi oleh  selera yang dimiliki individu. Selera setiap orang berbeda-beda.  
Faktor kedua yang mempengaruhi kosumsi adalah faktor ekstern. Faktor ini meliputi kebudayaan, status sosial, dan harga barang atau jasa. Kebudayaan yang ada di suatu daerah berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat daerah tersebut. Misalnya dalam upacara ritual, dibutuhkan barang-barang tertentu. Jenis dan banyaknya barang yang dibutuhkan tentunya disesuaikan dengan upacara adat setempat. Ini tentunya akan memengaruhi tingkat konsumsi.
Status sosial jelas berpengaruh terhadap tingkat konsumsi. Pola makan seorang konglomerat tentu berbeda dengan pola makan tukang becak. Bagi tukang becak cukup makan siang di warung pinggir jalan, namun bagi konglomerat untuk makan siang perlu mencari restoran yang mempunyai suasana yang diinginkan.
Sudah menjadi hukum ekonomi, bila harga naik, konsumsi akan menurun, dan bila harga turun, permintaan akan naik. Ini juga berlaku untuk tingkat harga barang subtitusi. Namun demikian ini tidak berlaku untuk barang kebutuhan pokok. Karena berapa pun harganya kebutuhan pokok pada umumnya konsumen akan selalu membelinya.
Perilaku konsumtif memiliki dua aspek, yakni aspek positif dan aspek negatif. Aspek positif perilaku konsumtif adalah menjamin keberlangsungan siklus ekonomi, kegiatan konsumsi, kegiatan distribusi, dan produksi. Sementara aspek negatif perilaku konsumtif adalah boros, tidak memikirkan masa depan, tidak terpuji, merugikan masa depan, dan sangat berbahaya jika yang melakukannya tidak berpenghasilan lagi.
Lantas, bagaimana agar kita dapat mempunyai pola konsumsi yang rasional? Berikut beberapa tips yang insya Allah dapat membantu "mengerem" dari perilaku konsumtif yang kurang sehat. Pertama, bedakan uang usaha dan pribadi. Kedua, tentukan prioritas kebutuhan. Ketiga, bedakan keinginan dan kebutuhan. Keempat, buatlah rencana kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang.
Mudah bukan? Mulai sekarang jangan membeli barang yang tidak dibutuhkan sekalipun Anda inginkan.

*     PW Fatayat DIY Bidang Sosial dan Ekonomi

Artikel 5


Benarkah Perkawinan Usia Dini Sesuai Syari’ah Islam?
Oleh: Ni'mah Afifah


Potret perempuan sebagai korban kekerasan dalam wacana perkawinan di bawah umur (pernikahan dini) akhir-akhir ini semakin menjadi pembicaraan yang menarik, terutama bagi para pemerhati masalah sosial, termasuk para  agamawan. Hal ini dipicu dengan maraknya pemberitaan kasus pernikahan yang dilakukan oleh   Pujiyono, seorang pengusaha kaya raya, terhadap perempuan muda belia berumur 12 tahun, Lutfiana Ulfa. Kasus pernikahan ini terjadi di Semarang, tepatnya di Desa Bedono Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang , Jawa Tengah. Banyak orang terkejut dan boleh jadi marah atas apa yang di lakukan oleh Puji. Respon masyarakat bertambah keras ketika dengan bangganya Puji berencana menikah kembali dengan dua perempuan yang jauh lebih muda (7 dan 9 tahun). Puji menganggap pernikahannya adalah sah karena menurutnya dia tidak melanggar hukum agama (Islam) bahkan dia beranggapan telah  melaksanakan Sunah Rasul.     
Syari’ah Islam secara tegas menyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan yang kokoh (mitsaqan galida) yang tidak disebandingkan nilainya dengan akad-akad muamalah yang lain. Ikatan perkawinan tidak hanya berpengaruh pada saat transaksi (akad) berlangsung, tetapi berpengaruh secara terus-menerus. Ikatan keluarga menyebar, baik ke samping maupun ke bawah. Dengan asumsi demikian, mustahil Islam yang memegang prinsip tujuan hukumnya adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemadaratan, membuka peluang atau melanggengkan tindakan atas nama hukum Islam, sementara tindakan tersebut sangat berindikasi memudaratkan pihak yang terkait dengan akad nikah tersebut. Mustahil Islam membuka peluang bolehnya seseorang mengikatkan diri pada akad yang sedemikian kuat dan berpengaruh pada generasi mendatang , bila seseorang tersebut belum paham dan belum siap pada konsekwensi berat yang terdapat dalam ikatan perkawinan. Atau dengan kata lain, akad nikah yang dilakukan harus dilakukan dengan penuh kesadaran (tanpa paksaan) dan yang telah memiliki kesiapan yang memadai, termasuk kedewasaan pada umur.
Quran tidak sekali pun menunjukkan bolehnya menikah di usia dini. Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 6 justru menunjukkan dalil tentang anak yatim yang memiliki harta, hendaknya harta mereka dipegang oleh orang yang ahli tanpa mengabaikan hak anak yatim tersebut dalam memperoleh kebutuhannya. Harta anak yatim tersebut baru boleh diberikan sepenuhnya bila ia (anak yatim) tersebut dipandang telah mampu mengelola hartanya. Jika untuk men-tasaruf-kan hartanya saja, yang notabene lebih ringan konsekwensinya saja Allah melarang apalagi mengayuh biduk rumah tangga yang menuntut tanggung jawab yang tidak ringan.
Pujiono berdalih bahwa perkawinannya sah karena Rasul saja menikahi ‘Aisyah ra. pada umur 6 tahun. Bila ditelusuri dengan pendekatan yang lebih integratif dan komperehensif, dapat diketahui bahwa alasan tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan alasan pembenaran melakukan tindakan perkawinan di bawah umur. Pertama, dengan asumsi hadis tersebut dapat dijadikan hujjah. Kedua, kedua jika hadis  tersebut bermasalah dalam sanad matannya. Jika kita berasumsi hadis tersebut tidak bermasalah dalam hal sanad matannya, jalan paling objektif untuk mengkaji hadis tersebut adalah dengan meneliti sebab  pernikahan dan sosiologis budaya Arab saat itu.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan juga Turmudzi, terdapat riwayat bahwa pernikahan Nabi dengan A’isyah berdasarkan perintah Allah melalui wahyu dalam mimpi. Rasulullah mengisahkan mimpi beliau kepada A’syah “Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, ketika itu datang bersamamu Malaikat (Jibril )yang berkata “ini adalah istrimu”, lalu kau singkap tirai yang menyembunyikan wajahmu, lalu aku berkata sesungguhnya hal itu telah ditetapkan di sisi Allah)
Dari hadis shahih tersebut tampak bahwa Nabi Muhammad menikah dengan A’isyah berdasarkan wahyu, bukan berdasarkan hawa nafsu/keinginan beliau pribadi. Juga berdasarkan wahyu itu pula dapat diketahui bahwa mustahil Allah menyiapkan seorang isteri bagi Nabi, bila perempuan yang dipilihkan tersebut tidak memiliki hal yang sangat luar biasa sebagai pendamping Nabi Muhammad. Mustahil tanpa adanya pertimbangan untuk kepentingan yang lebih besar, yakni memberikan waktu yang seluas-luasnya bagi ‘Aisyah untuk membaktikan diri pada Nabi dan umatnya melalui kelebihan yang ada pada dirinya. Dalam catatan sejarah, terbukti ‘Aisyah sangat berbeda dengan perempuan sebayanya. ‘Aisyah dalam catatan perawi haduis, menempati urutan pertama perowi hadis dari pihak perempuan, atau dengan kata lain peran ‘Aisyah sangat signifikan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan umat terkait dengan hal-hal yang hanya bisa diketahui oleh orang terdekat yang serumah dengan Nabi, serta memiliki potensi yang memadai untuk hal tersebut. Selain kepandaiannya dalam mencari, menyerap, dan menyebarkan ilmu yang didapatnya dari Nabi, ‘Aisyah juga terkenal keberaniannya dalam memutuskan suatu perkara besar termasuk berani menjadi panglima perang.
Pengertian baligh pada masa lalu yang terekam dalam kitab-kitab fiqih klasik tidak serta merta dapat diterapkan pada masa sekarang karena adanya kaidah ushul fiqh  Taghayyurul hukmu  bitaghoyyuril azmaan wal amkinah (hukum dimungkinkan untuk berubah seiring dengan perubahan tuntutan zaman dan tempat). Terlebih dengan adanya perkembangan bidang keilmuan dan perkembangan peradaban yang ada menunjukkan bahwa pengertian baligh bagi perempuan  tidak sebatas sudah mengeluarkan darah haid bila dikaitkan sebagai pihak yang akan melakukan akad pernikahan.
Jadi bila produk hukum yang ada sebelumnya dipandang tidak lagi mewujudkan kemaslahatan, bahkan mengindikasikan datangnya kemadaratan, hukum tersebut dimungkinkan bahkan diharuskan untuk mereformasikan dirinya sejalan dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat yang telah berkembang pada saat itu. Dalam konteks ini, nyata bahwa dari pendekatan interdisipliner, perkawinan perempuan di bawah umur lebih rentan pada adanya madarat bagi dirinya dan generasi sesudahnya. Muh Abduh mengharamkan perkawinan perempuan yang di bawah umur, karena terbukti menyengsarakan hidupnya. Bahkan di beberapa Negara Muslim, seperti di Tunisia dan Pakistan, perkawinan yang mengandung unsur pemaksaan wali terhadap anaknya untuk menikah dan calon mempelai di bawah umur akan dikenai denda harta atau dipenjara.
Ketidakrelevan hadis tersebut dijadikan sandaran hukum karena adanya beberapa kejanggalan dalam hadis tersebut. Beberapa  riwayat yang termaktub dalam buku-buku hadis tentang riwayat pernikahan dini yang dilakukan Nabi dengan A’syah, semuanya hanya berasal dari Hisyam bin Urwaih ketika dia pindah ke Iraq pada usia 71 tahun. Padahal perawi seharusnya minimal ada 2 atau 3 orang yang mencatat hadis serupa. Di samping itu, tidak ada seorang pun di Madinah tempat Hisyam tinggal selama 71 tahun, yang menceritakan hal serupa, termasuk Abu Hurairah atau pun Malik bin Anas.
Tahzib al- tahzib, salah satu buku terkenal yang berisi catatan para perawi hadis, menurut Ya’qub ibn Shaibah, Hisham sangat bisa dipercaya (riwayatnya) kecuali apa-apa yang dia ceritakan sesudah ia pindah ke Iraq.(Tahzib al -tahzib, Ibn Hajar Al- Asqalany, Dar Ihya al turath al Islami, 15 th century, vol II, h.50).Turut mendukung dengan pernyataan Ya’qub tersebut, dalam kitab itu juga disebutkan Malik bin Anas pun menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq. Sementara hadis yang diriwayatkan Hisyam tersebut diketahui dari catatan dari orang-orang Iraq.
Selain kitab tersebut, kitab Mi-zan al -i’tidal ( kitab yang berisi uraian riwayat hidup perawi hadis) mengungkapkan fakta bahwa ketika masa tua, ingatan Hisyam bin Urwah mengalami kemunduran yang sangat mencolok  (Mizan al-I’tidal, al-Zahbi, al-Maktabatu al-Ithiriyyah, Sheikhupura, Pakistan, vol 4, h.301)
Jadi, hadis tentang ‘Aisyah yang dinikahi Nabi pada usia dini tersebut bisa dipandang sebagai hadis yang dhoif (lemah) dan tidak bisa dijadikan dasar hukum. Perkawinan di usia dini tidak mendatangkan kebaikan, justru mendatangkan kemadaratan dan melanggar prinsip pokok hukum Islam.
Sebagaimana diketahui prinsip pokok hukum Islam yakni melindungi lima (5) hal yang pokok, yakni hifd ad-din (melindungi agama), an-nafs (melindungi jiwa), hifd al-nasl/ird( melindungi keturunan dan kehormatan), hifd al-mal (melindungi harta) dan  hifd al-aql (melindungi akal fikiran).
Dengan pendekatan interdisipler ilmu, atau dengan melakukan pendekatan tematik, komperehensif, dan integratif, perkawinan di bawah umur terbukti mengancam kesejahteraan perempuan dalam menjaga lima hal tersebut. Dari segi nafs misalnya, para geneolog dan ahli medis sudah melarang keras perkawinan di bawah umur karena akan berpotensi  kanker mulut rahim. Hal ini dibuktikan bahwa tingginya angka kematian ibu melahirkan dan buruknya kondisi anak yang dilahirkan di negara berkembang sangat terkait dengan adanya budaya menikah pada usia dini.
Psikologi perkembanagan juga menunjukkan bahwa sangatlah kejam merenggut masa kanak-kanak dan remaja yang ceria, yang masih perlu bimbingan dengan pembebanan sebagai seorang isteri dan ibu yang tentu sangatlah berat dan kompleks komitmen dan tanggungjawabnya. Selain itu juga dari perlindungan nasl (keturunan) perkawinan di bawah umur juga menginvestasikan calon generasi yang lemah, karena kekurangsiapan orangtuanya, baik secara biologis maupun psikologis. Mereka sangat rentan terhadap tindak kekerasan baik secara fisik, seksual, psikologis, sosial, dan ekonomi.
Berdasarkan uraian di atas, sangat patut kita renungkan, adakah kita akan melanggengkan suatu tindakan yang bertopengkan agama, padahal tindakan tersebut jelas-jelas memberikan madarat bagi manusia? Jadi, sesuai dengan yang telah diatur dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, sebagai UU yang mengadopsi juaga hukum Islam, pernikahan hendaknya dilakukan oleh perempuan yang berusia minimal 16 tahun dan laki-laki minimal usia 19 tahun. Tidak menutup kemungkinan, bila tuntutan zaman berbeda, batas usia ini pun akan diperbaharui, sebagaimana tuntutan para aktivis perempuan, bahwa masa kesiapan mental dan biologis perempuan untuk menikah minimal adalah usia 21 tahun. Wallahu a’lam bi showwab.

(Litbang PW Fatayat DIY)

Artikel 4


Perempuan dan Kemerdekaan
.Oleh: Ening Herniti*


        Agustus tahun ini, Indonesia genap berusia 66 tahun. Jika diibaratkan usia manusia, usia ini adalah usia kematangan. Usia yang menuntun kita pada renungan dan evaluasi diri. Sudahkan kita merdeka dalam makna yang sesungguhnya? Sebuah pertanyaan yang mudah dijawab, tetapi sangat susah merealisasikannya.
Kemerdekaan bukan sekadar terlepas dari belenggu penjajah, tetapi lebih dari itu juga mengupayakan pemenuhan hak-hak asasi mereka. Hak asasi itu menyangkut jaminan keamanan, pembebasan dari segala belenggu penjajahan dan diskriminasi atas dasar apa pun, termasuk jenis kelamin. Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan yang bisa menjamin hak asasi individu dan memandang setara seluruh warga. Kemerdekaan bukanlah sebatas bebas dari (freedom from) penjajahan bangsa lain. Kemerdekaan adalah sebuah situasi yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk (freedom for) mengaktualisasikan segala potensi dan kemampuannya dengan rasa aman serta bebas dari segala ancaman dan teror. Kemerdekaan itu terbebas dari nilai-nilai keniscayaan, nilai-nilai pelecehan, kekerasan, intimidasi, dan diskriminasi.
Perjuangan kemerdekaan telah dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia. Baik laki-laki maupun perempuan, telah bersatu padu untuk memperjuangkan kemerdekaan. Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas pentas sejarah tiak diragukan lagi, baik berupa gagasan, pemikiran, maupun realitas perjuangan. Jauh sebelum kemerdekaan perjuangan perempuan itu telah dimulai. Organisasi-organisasi perempuan juga telah berdiri seperti Muslimat NU. Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, dan Christina Martha Tiahahu adalah di antara perempuan yang telah berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan badan yang dipercayai untuk merumuskan kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI juga telah melibatkan perempuan di dalamnya, meskipun prosentasinya sangat kecil. Dari sekitar 60-an anggota BPUPKI, hanya ada dua perempuan yang masuk, yaitu Maria Ulfa Santoso dan Ny. R. S. S. Soenarjo Mangoenpoespito.
Kesadaran perempuan untuk melawan segala penjajahan dan penindasan di Indonesia telah muncul sejak lama. R. A. Kartini (1879-1904) adalah pelopor perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Sepeninggal Kartini pada tahun 1912 atas prakarsa Tuan dan Nyonya C. T. van Deventer, digerakkanlah dana Kartini untuk pendirian sekolah-sekolah. Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang pada tahun 1904 mendirikan Sekolah Keutamaan Isteri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe.
Keadaan perempuan masa kini, berkat inspirasi dari R. A. Kartini, telah banyak mendorong perempuan Indonesia untuk mencapai pendidikan tinggi. Perempuan telah mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bersekolah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah murid perempuan dan laki-laki seimbang pada tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah lanjutan pertama (SLTP). Akan tetapi jumlah perempuan makin berkurang seiring dengan meningkatnya jenjang sekolah. Hal ini disebabkan oleh masih adanya diskriminasi dalam keluarga terhadap anak perempuan untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini terkait pada masih kuatnya budaya patriarki yang menganggap bahwa setinggi-tinggi perempuan bersekolah, akhirnya akan masuk dapur juga. Dengan adanya diskriminasi terhadap anak perempuan untuk bersekolah, maka persentase anak perempuan yang mencapai pendidikan minimal (Wajar 9 tahun) jauh lebih rendah dari anak laki-laki. Demikian juga jumlah buta huruf perempuan pada umur 15-45 tahun jumlahnya 2-3 kali lebih banyak dari laki-laki. Rendahnya pendidikan perempuan berakibat pada usaha untuk mencari nafkah dan pemeliharaan kesehatan individu dan keluarganya. Semua ini mengakibatkan rendahnya kualitas hidup perempuan (KHP).
Perjuangan perempuan yang dapat kita lihat hasilnya saat ini adalah UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU 2/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sampai saat ini organisasi Islam perempuan, termasuk LSM-LSM, juga masih gencar ingin merevisi atau menyempurnakan UU perkawinan yang dulu diperjuangkan oleh mereka.
Diskriminasi terhadap perempuan setelah kemerdekaan 66 tahun ini tidak hanya terjadi pada kesempatan bersekolah bagi anak perempuan, melainkan masih pula terjadi pada dunia pekerjaan, untuk peningkatan karier dan dalam dunia politik praktis. Kita mengetahui bahwa prestasi anak perempuan pada semua tingkat pendidikan (mulai SD sampai universitas) selalu menduduki peringkat yang tertinggi. Meskipun penelitian mengenai hal ini belum dilakukan, akan tetapi berdasarkan pengalaman, dari 10 peringkat tertinggi dari tiap jenjang pendidikan, ternyata 60%-70% adalah murid atau mahasiswa perempuan. Perempuan juga sudah mampu mencapai pendidikan tertinggi, seperti S1, S2, dan S3. Tenaga pengajar perempuan bergelar guru besar juga telah semakin meningkat. Lebih dari itu, perempuan masa kini sudah mampu melaksanakan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap sebagai tugas laki-laki seperti pilot, sopir bus, satpam, insinyur perminyakan, insinyur mesin, insinyur tambang, dan lain-lain.
Menurut Meutia Hatta Swasono, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, bahwa diskriminasi terhadap perempuan juga masih terjadi di Indonesia, keadaan ini ditandai oleh:
1.   Tradisi yang mewajibkan perempuan mengurus urusan rumah tangga, atau tradisi yang melarang perempuan mengemukakan pendapat dalam kondisi apa pun.
2.  Dalam bidang pendidikan, meskipun kesempatan sudah sangat terbuka bagi perempuan untuk sekolah setinggi-tingginya, namun bila biaya pendidikan dalam keluarga terbatas, anak perempuan harus mengalah kepada anak laki-laki. Bila beasiswa didapat oleh seorang perempuan bersuami, maka izin dari suami mutlak didapatkan oleh sang isteri. Demikian pula, ketika seorang perempuan sudah menikah dan mempunyai anak, pendidikan pun biasanya dihentikan demi kepentingan keluarga.
3.    Dalam bidang ekonomi, menurut survei terakhir, pendapatan perempuan biasanya hanya 60% dari pendapatan pria untuk waktu kerja dan posisi yang sama, ditambah kesalahan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mendata pelaku ekonomi di sebuah keluarga. Bila seorang isteri berusaha di rumah seperti membuat kue atau pisang goreng untuk dijual, biasanya BPS hanya mendata isteri tersebut sebagai ibu rumah tangga sehingga secara statistik, perempuan sedikit sekali berperan dalam sektor ekonomi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
4.     Dalam peningkatan karier atau dalam penentuan kenaikan jabatan, meskipun perempuan mempunyai prestasi yang baik di sekolah atau dalam pekerjaan, perempuan selalu dikalahkan dengan alasan yang sangat bias gender.
5.       Partisipasi politik perempuan di Indonesia hanya 11% di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan 22% di DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
6.    Dalam bidang kesehatan, angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Indonesia sangat tinggi karena gizi yang buruk, anemia, dan aborsi. Aborsi pun banyak dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di Indonesia karena sudah terlalu banyak anak. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian masyarakat, keluarga, dan para pejabat terhadap usaha pemberdayaan perempuan.
Ketertinggalan kaum perempuan ternyata menjadi permasalahan yang tidak saja merugikan perempuan itu sendiri, tetapi juga merugikan pembangunan nasional/daerah secara keseluruhan. Jumlah penduduk perempuan hampir sama dengan penduduk laki-laki. Oleh karena itu, peran perempuan sangat berarti. Lebih lanjut, Meutia Hatta Swasono menegaskan bahwa lambatnya pembangunan Indonesia selama ini karena kaum perempuan kurang berperan atau tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan, baik nasional maupun daerah. Nah, apakah perempuan sudah merdeka dan menikmati kemerdekaan dalam makna yang sebenarnya? Wallahu a’lam bi ash-shawab.

*Koordinator Litbang PW Fatayat NU DIY