Rabu, 27 Maret 2013

Opini


Lagu Dolanan Sebagai Warisan Budaya yang Terlupakan
Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*


Cublak Cublak suweng
Suwenge ting gelèntèr
Mambu ketundhung gudèl
Pak empong lera-lèrè
Sapa ngguyu ndelikkakè
Sir sir pong dhelè gosong
Tentu, lagu dolanan di atas sangat dekat dengan kehidupan masa kecil kita. Namun apakah lagu dolanan ini masih digemari anak-anak kecil masa sekarang?  Seiring semakin berkembangnya lagu-lagu modern bahkan munculnya berbagai boyband maupun girlband yang mampu menyedot perhatian anak bangsa. 
Mereka kini lebih menyukai menyanyikan lagu-lagu yang seharusnya untuk remaja dan dewasa, akhirnya lagu dolanan yang sebenarnya adalah warisan budaya ditinggalkan.
Selain merupakan warisan budaya, lagu dolanan juga mengandung unsur seni dan sastra dalam syair-syair yang dinyanyikan. Kedua unsur ini kemudian di wujudkan dalam bentuk permainan anak kecil. Bermain sambil menyanyi merupakan metode pembelajaran yang efektif dalam mengembangkan kemampuan bersosialisasi dengan teman-temannya. Seperti dalam penelitian yang dilakukan Ninyoman Seriati (2012) Universitas Negeri Yogyakarta tentang permainan tradisional yang  dapat menstimulasi keterampilan sosial anak usia dini. Penelitian ini menjelaskan bahwa permainan gerak dan lagu yang berasal dari kebudayaan lokal mampu mempengaruhi ketrampilan sosial pada anak.
Lagu dolanan merupakan rangkaian bahasa yang memiliki irama, persajakan dan mengandung makna yang adi luhung. Bermain dengan terus melesarikan budaya sudah saatnya digerakkan kembali. Karena kekuatan dari pelestarian budaya terletak pada bagaimana kita mengakui dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Sudah beberapa kebudayaan bangsa ini diakui oleh bangsa lain, karena kelalaian dalam menjaga warisan budaya. Bahkan terkesan tidak bangga dengan warisan para leluhur.

Jumat, 22 Maret 2013

Kegiatan PW Fatayat


Sarasehan Sastrawan Perempuan
“Pengarusutamaan Gender dalam Karya Sastra"

Acara yang diselenggarakan oleh Devisi Sosial, Seni dan Budaya PW. Fatayat NU DIY pada Minggu 17 Maret 2013 lalu mampu menggugah semangat menulis bagi para peserta. Di Pendopo LKiS ini acara sarasehan berlangsung menarik dan seru. Mb' Abidah pun terlihat bersemangat dalam mengisi acara tersebut. Ia pun banyak bercerita tentang kisahnya selama pembuatan Novel "Perempuan Berkalung Sorban", proses difilm-kannya sampai bagaimana reaksi masyarakat dalam menanggapi kontroversi yang ada pada Film tersebut. 
Begitu pun dengan Mb' Ismaa Kazee, dia menjelaskan bahwa penulis perempuan yang mengangkat tema pengarusutamaan gender masih sangat minim, kita harus menciptakan regenerasi untuk penulis perempuan. mb' Ulfatin CH juga menjelaskan akan kekuatan syair itu sangat dasyat merubah pola pikir masyarakat.
untuk lebih jelasnya simak notulensi dari kami, semoga bermanfaat:

Abidah El-Khaliqy:
Terima kasih untuk kedatangan dan kesabaran teman-teman serta molornya juga J. Saya yakin semua sudah baca makna wal’ashri, ini luar biasa. Calon sastrawan memang harus begini J
Di Majenang ada Ponpes Miftahul Huda, dipimpin oleh mantan Dirjen haji Kemenag Pusat, Bpk KH Slamet Riyanto. Saya ditodong memberikan setetes ilmu kepada para wakil santri, kyai, bu nyai yang ada di situ. Karena acaranya mendadak, saya bicara apa saja yang penting bagaimana mereka tahu dari yang sedikit  itu. Acara itu begitu penuh dan padat. Dalam perjalanan itu saya disms Azzah, “mbak jangan lupa besok acara Sarasehan ya”. Saya bilang: “saya siap”, padahal belum saat itu. Tapi sekarang saya sudah siap.
Setahu saya kata “pengarusutamaan” itu dari kata “Mainstream”, berarti pemainstreaman gender dalam karya sastra. Saya pikir ini berhubungan dengan novel “Perempuan Berkalung Sorban”. Kalau saya harus membicarakan novel itu dari A sampe Z kita akan ketemu dengan tema ini dengan sempurna.
Pagi ini akan saya ceritakan novel ini, latarnya, dibikinnya seperti apa, proses dibuat film seperti apa lalu ada kontroversi.
Gagasan awalnya adalah dari Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) DIY. Kami bergabung di situ dan menggagas sebuah media pemberdayaan perempuan melalui novel, maka ditulislah novel ini. Jadi ide awalnya dari YKF karena mereka punya program pemberdayaan perempuan. Saya bukan dari YKF. Saya dipanggil untuk hadir, kemudian kami sepakat. Saya lihat apa yang akan dilakukan YKF itu bukan hanya bagus tapi juga mulia.
Novel ini kan isinya kampanye tentang hak reproduksi perempuan, seputar fiqhunnisa. Pengetahuan kita tentang kesehatan reproduksi adalah ketika kita hamil, menyusui, hanya sampai di situ. Padahal ternyata ketika kita ingin mengetahui lebih jauh tentang reproduksi ini di sana ada hak-hak perempuan. Dalam fiqhunnisa sudah diatur bahkan sudah diratifikasi oleh PBB, namum belum tersosialisasi. Ternyata di situ saya tahu hak reproduksi peremouan itu menyangkut seluruh daur kehidupan peremouan dari mulai lahir sampai ke liang lahat. Seperti belajar dari lahir sampai mati minal mahdi ilallahdi. Mulai aqiqah, laki-laki 2 kambing perempuan hanya satu. Ketika perempuan mens ada hak reproduksi yang perlu diberikan oleh masyarakat. Kita sendiri sebagai perempuan belum tahu. Inilah yang ingin disampaikan oleh novel ini.