Sabtu, 07 Desember 2013

Cerpen



 Saat Rinai Hujan Berhenti
Oleh: Ening Herniti
Pukul 20.30 WIB hujan masih juga turun sejak Magrib. Shoffi masih asyik mengetik makalahnya. Tapi, beberapa menit kemudian pikirannya terganggu oleh sesuatu. Fifi termangu sesaat. Ya Robbi, seharusnya bara itu sudah dapat ditepiskan sejak dulu. Fifi takut pada suatu ketika cepat atau lambat akan memercikkan api yang bisa membakar dirinya. Sebuah kebencian yang bercokol di hatinya. Usaha? Sudah berkali-kali Fifi mengusahakannya. Setidaknya mengikis. Mata Fifi mengerjap sesaat. Memerah. Terasa dadanya bergemuruh. Meluap ingin meledak. Memuntahkan segala kebencian yang bersarang di dadanya. Tanpa sadar jarinya meremas kertas-kertas makalah yang ada di sebelah kiri mesin ketik.
Pukul 21.15 WIB, Fifi masih bercengkerama dengan hati dan pikirannya. Ingin sekali Fifi menghindari bayangan silam. Bertahun-tahun yang lalu ketika Fifi belum mengerti arti perbedaan pria dan wanita. Konsep feminisme. Konsep mar’atushsholihah. Dan sebagainya - dan sebagainya yang bikin pusing kepala. Konsep feminisme, sepintas menjanjikan kebebasan wanita. Namun, ada beberapa sisi yang Fifi nggak setuju. Konsep mar’atushsholihah yang hanya ada dalam ajaran Islam? Luar biasa………. andai si pria tidak merasa lebih. Ah, andai saja manusia itu sadar posisinya masing-masing, tidak perlu ada pergerakan-pergerakan semacam itu.
Hujan belum berhenti bersenandung juga. Namun, Fifi mulai penat. Penat pada kenyataan, hati, pikiran, dan harapannya. Sekelebat ada bayangan. Perlahan bayangan itu mendekatinya. Samar. Fifi tidak tahu siapa dia. Sedikit demi sedikit bayangan itu membentuk nyata. Pyar!!! Jantung Fifi terasa berhenti berdetak. Tak percaya. Fifi mengerjap-ngerjapkan matanya. Takut jika itu hanya ilusinya. Sosok itu masih berdiri di depannya. Begitu cantik dan anggun dengan gaun putih bersih berkerudung jingga. Wajah itu teramat dikenalnya yang selalu ada di hati dan pikiranya. I b u. Fifi ingin sekali mendekap untuk melepaskan berjuta kerinduan yang menghiasi hari-harinya. Fifi amat kehilangan semenjak ibunya pergi. Fifi terpaku. Terhipnotis.
“Fi, Ibu tahu apa yang Fifi rasakan. Kejadian bertahun-tahun yang lalau sangat membekas di hatimu. Ibu sedih jika melihat Fifi seperti ini. Aku tahu kau selalu mengingatku meski pada hari akhirku Fifi tidak di sisiku untuk melepas kepergianku. Tapi, itu lebih baik. Karena jika saat itu kau ada, kau akan semakin tersiksa. Lihatlah aku, Fi! Apakah kau lihat kesedihan terpancar dari mataku, terlukis di wajahku?” Fifi menggeleng lemah, “Aku sangat bahagia sekarang. Di alamku tidak ada dusta.” Fifi menatap lekat wanita yang berdiri di depannya. Wanita itu tersenyum lembut.
“Bu………” Fifi ingin mengatakan sesuatu, tetapi terasa kelu lidahnya.
“Katakanlah, Fi. Ibu akan mendengarkannya.”
“Mengapa ibu pergi sebelum aku membahagiakan ibu?”
“Mengapa Fifi tanyakan hal ini. Bukankah hidup dan mati itu karena Allah?!”
“Ibu pergi dengan membawa penderitaan.”
“Justru sebaliknya. Ibu pergi dengan melepaskan segala beban. Sekarang Ibu baru tahu bahwa semua yang kulakukan di dunia ini tidak sia-sia meski pada saat itu Ibu teramat tertekan.”
“Kadang, Fifi tak habis pikir mengapa Bapak berbuat setega itu pada Ibu
“Karena Bapak merasa ‘lebih’ dibanding Ibu. Kesombongannya yang membuat Bapak seperti itu. Beliau merasa paling benar sehingga tidak mau menerima masukan dari siapa pun termasuk Ibu.”
“Mengapa saat itu Ibu menerima saja perlakukannya?”
“Karena Ibu sangat sayang pada kalian. Ibu tidak ingin kalian, anak-anakku, menderita jika Ibu memilih berpisah dengan Bapak. Ibu ingin kalian bahagia.”
“Dengan mengorbankan kebahagiaan Ibu sendiri?”
“Kebahagiaan itu tidak akan teraih tanpa pengorbanan, Fi. Apa yang ditanam, itu yang dipetik kelak. Di dunia ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dan tak ada penderitaan yang tak usai.”
“Sebenarnya Bapak sangat baik. Manusia tidak ada yang sempurna kan, Fi?”
“Bapak memperlakukan Ibu seperti budak. Itu tidak adil.”suara Fifi agak serak menahan amarah dan tangis. Wanita itu hanya tersenyum.
“Ibu mengerti mengapa Fifi begitu membenci Bapak. Pertama, karena Fifi adalah anakku. Kedua, karena kita sama-sama wanita. Ibu sangat kecewa kalau Fifi sampai membenci Bapak padahal Bapak sangat sayang padamu.”
“Sebenarnya Fifi sangat sayang pada Bapak. Namun, jika ingat perlakukan Bapak pada Ibu, perasaan benci itu tiba-tiba muncul.”
“Dan Fifi menilai pria itu begitu semua, kan. Itu tidak benar, Fi. Di antara pasir-pasir pasti ada emas, bukan?”
“Tapi, Bu………..”
“Ibu mengerti. Jangan menilai sesuatu bila berangkat dari rasa bencimu. Itu tidak adil, Fi. Tidak perlu mencari atau menanti orang lain untuk meyakinkanmu. Sebenarnya semua tergantung padamu.”
“Aku selalu berusaha. Semampuku. Tapi, peristiwa masa lalu selalu mengikis usahaku. Apa yang kulakukan lagi, sedang aku mulai penat. Aku lelah, Bu.”
“Sebenarnya, Fifi tidak sepenuhnya berusaha, kan. Fifi selalu dalam keraguan dan ketakutan. Itu kenyataannya sehingga membuat Fifi seperti ini.”
“Aku tidak ingin bernasib seperti Ibu.”
“Siapa pun tidak ingin, Fi. Tidak ingin. Sebagai manusia tentunya ingin dihargai sebagaimana manusia yang punya keinginan, pikiran, dan kebebasan mengembangkan diri. Itu sebenarnya yang perlu dicatat. Namun, satu hal yang perlu Ibu ingatkan jika kelak Fifi telah berkeluarga, ingatlah tanggungjawabmu sebagai istri dan ibu dari anak-anakmu. Selangkah saja Fifi meninggalkan tanggung jawab itu, maka akan terjadi bencana yang sangat mengerikan. Jangan memperjuangkan sesuatu yang tidak sepatutnya untuk diperjuangkan, karena itu akan sia-sia.”
“Tapi, mereka memandang kita rendah dan lemah, Bu.”
“Tidak semuanya berpandangan seperti itu, Fi. Jika kita tidak sanggup menghormati diri kita sendiri jangan harap orang lain akan menghormati kita. Siapa yang mengatakan wanita itu lemah? Laki-laki ataukah kita sendiri. Sebenarnya, jika wanita itu sanggup menggunakan kelemahan itu, dia akan kuat sekali sebab dengan sekali langkah wanita sanggup mengubah wajah dunia.”
Fifi mengerti, Bu.” Wanita itu tersenyum puas. Berlahan sosok itu kembali samar, dan …….. kemudian menghilang seiring berhentinya rinai hujan. Fifi terpana.
“Bu….!!!” sebenarnya suara itu ingin dikeluarkan, tetapi berhenti sampai di tenggorokan. Fifi terduduk lemas. Mimpikah? Atau itu sekedar ilusinya. Atau memang ibunya datang. Fifi tidak mengerti atas kejadian tadi.
Jam di kamar telah menunjukkan pukul 23.43 WIB. Malam semakin larut. Malam kembali lengang dengan dingin yang menusuk tulang, tapi tak sanggup terpejamkan mata Fifi meski itu hanya sekejap. Bu, aku mengerti, bisik Fifi lirih.