Saat Rinai Hujan Berhenti
Oleh:
Ening Herniti
Pukul 20.30 WIB hujan masih
juga turun sejak Magrib. Shoffi masih asyik mengetik makalahnya. Tapi, beberapa
menit kemudian pikirannya terganggu oleh sesuatu. Fifi termangu sesaat. Ya
Robbi, seharusnya bara itu sudah dapat ditepiskan sejak dulu. Fifi takut pada
suatu ketika cepat atau lambat akan memercikkan api yang bisa membakar dirinya.
Sebuah kebencian yang bercokol di hatinya. Usaha? Sudah berkali-kali Fifi
mengusahakannya. Setidaknya mengikis. Mata Fifi mengerjap sesaat. Memerah.
Terasa dadanya bergemuruh. Meluap ingin meledak. Memuntahkan segala kebencian
yang bersarang di dadanya. Tanpa sadar jarinya meremas kertas-kertas makalah
yang ada di sebelah kiri mesin ketik.
Pukul 21.15 WIB, Fifi masih bercengkerama
dengan hati dan pikirannya. Ingin sekali Fifi menghindari bayangan silam.
Bertahun-tahun yang lalu ketika Fifi belum mengerti arti perbedaan pria dan
wanita. Konsep feminisme. Konsep mar’atushsholihah. Dan sebagainya - dan
sebagainya yang bikin pusing kepala. Konsep feminisme, sepintas menjanjikan
kebebasan wanita. Namun, ada beberapa sisi yang Fifi nggak setuju.
Konsep mar’atushsholihah yang hanya ada dalam ajaran Islam? Luar
biasa………. andai si pria tidak merasa lebih. Ah, andai saja manusia itu sadar
posisinya masing-masing, tidak perlu ada pergerakan-pergerakan semacam itu.
Hujan belum berhenti
bersenandung juga. Namun, Fifi mulai penat. Penat pada kenyataan, hati,
pikiran, dan harapannya. Sekelebat ada bayangan. Perlahan bayangan itu mendekatinya.
Samar. Fifi tidak tahu siapa dia. Sedikit demi
sedikit bayangan itu membentuk nyata. Pyar!!! Jantung Fifi terasa berhenti
berdetak. Tak percaya. Fifi mengerjap-ngerjapkan matanya. Takut jika itu hanya
ilusinya. Sosok itu masih berdiri di depannya. Begitu cantik dan anggun dengan
gaun putih bersih berkerudung jingga. Wajah itu teramat dikenalnya yang selalu
ada di hati dan pikiranya. I b u. Fifi ingin sekali mendekap untuk melepaskan
berjuta kerinduan yang menghiasi hari-harinya. Fifi amat kehilangan semenjak
ibunya pergi. Fifi terpaku. Terhipnotis.
“Fi, Ibu tahu apa yang Fifi
rasakan. Kejadian bertahun-tahun yang lalau sangat membekas di hatimu. Ibu
sedih jika melihat Fifi seperti ini. Aku tahu kau selalu mengingatku meski pada
hari akhirku Fifi tidak di sisiku untuk melepas kepergianku. Tapi, itu lebih
baik. Karena jika saat itu kau ada, kau akan semakin tersiksa. Lihatlah aku,
Fi! Apakah kau lihat kesedihan terpancar dari mataku, terlukis di wajahku?”
Fifi menggeleng lemah, “Aku sangat bahagia sekarang. Di alamku tidak ada
dusta.” Fifi menatap lekat wanita yang berdiri di depannya. Wanita itu
tersenyum lembut.
“Bu………” Fifi ingin mengatakan sesuatu, tetapi
terasa kelu lidahnya.
“Katakanlah, Fi. Ibu akan
mendengarkannya.”
“Mengapa ibu pergi sebelum aku
membahagiakan ibu?”
“Mengapa Fifi tanyakan hal
ini. Bukankah hidup dan mati itu karena Allah?!”
“Ibu pergi dengan membawa
penderitaan.”
“Justru sebaliknya. Ibu pergi
dengan melepaskan segala beban. Sekarang Ibu baru tahu bahwa semua yang
kulakukan di dunia ini tidak sia-sia meski pada saat itu Ibu teramat tertekan.”
“Kadang, Fifi tak habis pikir
mengapa Bapak berbuat setega itu pada Ibu
“Karena Bapak merasa ‘lebih’
dibanding Ibu. Kesombongannya yang membuat Bapak seperti itu. Beliau merasa
paling benar sehingga tidak mau menerima masukan dari siapa pun termasuk Ibu.”
“Mengapa saat itu Ibu menerima
saja perlakukannya?”
“Karena Ibu sangat sayang pada
kalian. Ibu tidak ingin kalian, anak-anakku, menderita jika Ibu memilih
berpisah dengan Bapak. Ibu ingin kalian bahagia.”
“Dengan mengorbankan
kebahagiaan Ibu sendiri?”
“Kebahagiaan itu tidak akan
teraih tanpa pengorbanan, Fi. Apa yang ditanam, itu yang dipetik kelak. Di
dunia ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dan tak ada penderitaan yang tak
usai.”
“Sebenarnya Bapak sangat baik.
Manusia tidak ada yang sempurna kan, Fi?”
“Bapak memperlakukan Ibu
seperti budak. Itu tidak adil.”suara Fifi agak serak menahan amarah dan tangis.
Wanita itu hanya tersenyum.
“Ibu mengerti mengapa Fifi
begitu membenci Bapak. Pertama, karena Fifi adalah anakku. Kedua, karena kita
sama-sama wanita. Ibu sangat kecewa kalau Fifi sampai membenci Bapak padahal
Bapak sangat sayang padamu.”
“Sebenarnya Fifi sangat sayang
pada Bapak. Namun, jika ingat perlakukan Bapak pada Ibu, perasaan benci itu tiba-tiba
muncul.”
“Dan Fifi menilai pria itu begitu semua, kan. Itu
tidak benar, Fi. Di antara pasir-pasir pasti ada emas, bukan?”
“Tapi, Bu………..”
“Ibu mengerti. Jangan menilai sesuatu bila
berangkat dari rasa bencimu. Itu tidak adil, Fi. Tidak perlu mencari atau
menanti orang lain untuk meyakinkanmu. Sebenarnya semua tergantung padamu.”
“Aku selalu berusaha. Semampuku. Tapi, peristiwa
masa lalu selalu mengikis usahaku. Apa yang kulakukan lagi, sedang aku mulai
penat. Aku lelah, Bu.”
“Sebenarnya, Fifi tidak
sepenuhnya berusaha, kan. Fifi selalu dalam keraguan dan ketakutan. Itu
kenyataannya sehingga membuat Fifi seperti ini.”
“Aku tidak ingin bernasib
seperti Ibu.”
“Siapa pun tidak ingin, Fi.
Tidak ingin. Sebagai manusia tentunya ingin dihargai sebagaimana manusia yang
punya keinginan, pikiran, dan kebebasan mengembangkan diri. Itu sebenarnya yang
perlu dicatat. Namun, satu hal yang perlu Ibu ingatkan jika kelak Fifi telah
berkeluarga, ingatlah tanggungjawabmu sebagai istri dan ibu dari anak-anakmu.
Selangkah saja Fifi meninggalkan tanggung jawab itu, maka akan terjadi bencana
yang sangat mengerikan. Jangan memperjuangkan sesuatu yang tidak sepatutnya
untuk diperjuangkan, karena itu akan sia-sia.”
“Tapi, mereka memandang kita
rendah dan lemah, Bu.”
“Tidak semuanya berpandangan
seperti itu, Fi. Jika kita tidak sanggup menghormati diri kita sendiri jangan
harap orang lain akan menghormati kita. Siapa yang mengatakan wanita itu lemah?
Laki-laki ataukah kita sendiri. Sebenarnya, jika wanita itu sanggup menggunakan
kelemahan itu, dia akan kuat sekali sebab dengan sekali langkah wanita sanggup
mengubah wajah dunia.”
Fifi mengerti, Bu.” Wanita itu tersenyum puas. Berlahan
sosok itu kembali samar, dan …….. kemudian menghilang seiring berhentinya rinai
hujan. Fifi terpana.
“Bu….!!!” sebenarnya suara itu
ingin dikeluarkan, tetapi berhenti sampai di tenggorokan. Fifi terduduk lemas.
Mimpikah? Atau itu sekedar ilusinya. Atau memang ibunya datang. Fifi tidak
mengerti atas kejadian tadi.
Jam di kamar telah menunjukkan
pukul 23.43 WIB. Malam semakin larut. Malam kembali lengang dengan dingin yang
menusuk tulang, tapi tak sanggup terpejamkan mata Fifi meski itu hanya sekejap.
Bu, aku mengerti, bisik Fifi lirih.