Urgensi Pendidikan Antikorupsi
Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*
Negeri ini sedang dilanda mafia yang terus menggerogoti harta
negara. Semakin hari, perkembangan kaum mafia semakin terlihat brutal.
Kasus demi kasus datang silih berganti. Harta negara yang sedianya
digunakan untuk meningkatkan pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan rakyat,
justru malah dinikmati segelintir orang. Inilah tragedi yang memilukan bangsa
ini!
Jaringan mafia yang semakin brutal ini harus menjadi cacatan
krusial bagi dunia pendidikan di Indonesia. Karena mereka yang berjibaku dalam
dunia mafia bukanlah mereka yang tak terdidik. Justru mereka adalah kaum cerdik
yang telah dibesarkan oleh dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Kaum mafia
bukannya tidak mengerti dengan korupsi dan akibat buruknya. Tetapi mereka
bahkan lebih mengerti dampak destruktifnya bagi masa depan negara. Gayus dan
kawan-kawan adalah kaum akademikus yang cerdik, sehingga dipercaya untuk
menangai masalah pajak.
Pendidikan di Indoensia telah terjebak sebagai “alat kekuasaan”.
Pendidikan yang tadinya netral, tidak memihak, dan objektif, berubah
menjadi ajang pertarungan kekuasaan yang penuh interest, konflik, dan
bahkan seringkali dimuati dengan kepentingan ideologis yang bersifat memihak
dan subjektif. Dalam kondisi demikian, pendidikan yang tadinya menjadi sarana
mencari kebenaran dan autentisitas diri manusia berubah menjadi sarana
“pembenaran” dan arena pencarian jati diri yang semu, abstrak, dan jauh dari
nilai moralitas kemanusiaaan. Dalam keterpautan ekonomi, pendidikan saat ini
hanya dijadikan sebagai lembaga “pengeruk” kekayaan belaka, tidak peduli
kondisi kemiskinan yang sedang mendera bangsa.
Terjebak dalam permainan kekuasaan dan ekonomi, membawa pendidikan
bangsa ini pada lubang hitam paling dalam. Terbukti, mereka yang tersangka dan
terdakwa dalam berbagai kasus korupsi adalah kaum elite berdasi. Ya, mereka
adalah graduated dari lembaga pendidikan tinggi kita. Semakin banyak
lulusan perguruan tinggi, bukannya semakin maju negeri ini, tetapi justru malah
semakin subur korupsi dan semakin jelas lonceng kematian demokratisasi. Lembaga
pendidikan menjadi pencetak koruptor (the maker of corruptor) paling
prestisius yang setiap saat, bahkan setiap detik akan menghadang laju kemajuan
bangsa. Korupsi para kaum berdasi memang telah membawa konstruksi titik nadir
kematian bangsa, sehingga dalam suatu kesempatan A. Syafi’I Ma’arif (2005)
mengatakan kerusakan bangsa Indonesia akibat korupsi sudah hampir sempurna, dan
sebentar lagi, Franz Magnis-Suseno mengungkapkan, Indonesia tinggal menunggu
waktu tergelincir dan masuk jurang.
Dari fenomena demikian, apa yang harus dilakukan lembaga
pendidikan, untuk tidak hanya menghapus stereotip pencetak koruptor, namun juga
membangun ideologi kehidupan yang anti-korupsi? Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam membangun ideologisasi pendidikan anti korupsi.
Pertama, menempatkan pendidikan sebagai saran membentuk karakter. Atau dalam bahasa pedagog Jerman, FW Foerster (1869-1966), kita harus menciptakan pendidikan karakter. Dalam pandangan Foester, ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter; keteraturan interior dimana setiap tindakan di ukur berdasarkan hirarki nilai, koherensi yang memberi keberanian, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambnf pada situasi baru atau takut resiko, memberikan otonomi dalam menginternalisasikan aturan luar menjadi nilai bagi pribadi, dan membangun keteguhan dan kesetiaan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan (Doni Kusuma, A: 2006). Kematangan empat nilai dasar Foerster tersebut akan membangun forma seorang pribadi dalam segala tindakannya. Sosok pribadi tangguh yang siap menerjang ketimpangan yang melanda masyarakat, khususnya korupsi.
Pertama, menempatkan pendidikan sebagai saran membentuk karakter. Atau dalam bahasa pedagog Jerman, FW Foerster (1869-1966), kita harus menciptakan pendidikan karakter. Dalam pandangan Foester, ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter; keteraturan interior dimana setiap tindakan di ukur berdasarkan hirarki nilai, koherensi yang memberi keberanian, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambnf pada situasi baru atau takut resiko, memberikan otonomi dalam menginternalisasikan aturan luar menjadi nilai bagi pribadi, dan membangun keteguhan dan kesetiaan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan (Doni Kusuma, A: 2006). Kematangan empat nilai dasar Foerster tersebut akan membangun forma seorang pribadi dalam segala tindakannya. Sosok pribadi tangguh yang siap menerjang ketimpangan yang melanda masyarakat, khususnya korupsi.
Kedua, setelah
tercipta karakter, maka perlu membangun kurikulum yang selalu mengutuk korupsi
sebagai kemunkaran sosial. Dalam setiap materi pelajaran, seorang guru
seharusnya tidak hanya menjelaskan makna tekstual teori ilmu pengetahuan, namun
juga mampu mengkontekstualisasikan dengan fenomena ketimpangan sosial yang
terjadi di masyarakat. Dengan integrasi teori dan realitas, maka kurikulum
pendidikan, selain tidak menjemukan siswa, namun juga mampu mengantarkan mereka
menuju hampaan pengetahuan yang begitu luas dan dahsyat. Mereka tidak kaya
dengan pengetahuan, namun juga pengalaman hidup sebagai bekal dimasa depan.
Ketiga, melakukan real
action, aksi nyata dalam pemberantasan korupsi. Aksi nyata ini bisa bekerja
sama dengan lembaga peradilan yang menyeret para koruptor atau lembaga swadaya
masyarakat yang concern terhadap kebijakan pemberantasan korupsi. Dengan
aksi nyata tersebut, siswa atau bahkan para mahasiswa akan melihat secara riil
kenyataan korupsi di Indonesia dan menjelaskan pada mereka bahwa para koruptor
tersebut adalah kaum berdasi yang telah menyelesaikan pendidikannya sampai
jenjang paling tinggi. Dengan begitu, anak didik akan “tertampar” untuk bangkit
mengembalikan moralitas pendidikan dan akhirnya akan berdedikasi seara positif
terhadap kelangsungan bangsa.
Keempat, mendirikan
arus baru lintas sektoral pendidikan. Dalam arti, perlu upaya gerakan massif
diberbagai lembaga pendidikan pusat maupun daerah dalam menentang ulah para
koruptor. Gelombang arus baru tersebut akan selalu diliput media dan nantinya
lama kelamaan akan menjadi mainstream pemikiran kemanusiaan masa
depan. Dengan menjadi mainstream baru, maka pendidikan antikorupsi bukan
sekedar wacana, namun sebuah gerakan yang memang sangat diperhitungkan untuk
kelangsungan masa depan bangsa.
Beberapa langkah ideologisasi tersebut harus menjadi refleksi
bersama bangsa sebagai wujud tanggungjawab global (global responbility)
atas berbagai kemelut yang selalu menimpa bangsa. Korupsi dan dua saudara
kembarnya, kolusi dan nepotisme, yangs selama ini menjadi “trilogi” penyakit
bangsa harus segera lenyap dari muka bangsa. Jangan sampai trilogi penyakit
bangsa ini menjadi mitologi kejahatan, karena sulit terendus jika modusnya
melibatkan sindikasi yang rumit, terlebih jika di back-up oleh struktur
kekuasaan politik-ekonomi yang kuat dan berlapis. Untuk itu, pendidikan
antikorupsi akan menjadi “jelmaan dewa” yang akan membawa cetak biru (blue
print) kemajuan bangsa di masa depan.
*Litbang PW NU DIY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar