Jumat, 25 Mei 2012

Kolom


Urgensi Pendidikan Antikorupsi
Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*

Negeri ini sedang dilanda mafia yang terus menggerogoti harta negara. Semakin hari, perkembangan kaum mafia semakin terlihat brutal. Kasus  demi kasus datang silih berganti. Harta negara yang sedianya digunakan untuk meningkatkan pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan rakyat, justru malah dinikmati segelintir orang. Inilah tragedi yang memilukan bangsa ini!
Jaringan mafia yang semakin brutal ini harus menjadi cacatan krusial bagi dunia pendidikan di Indonesia. Karena mereka yang berjibaku dalam dunia mafia bukanlah mereka yang tak terdidik. Justru mereka adalah kaum cerdik yang telah dibesarkan oleh dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Kaum mafia bukannya tidak mengerti dengan korupsi dan akibat buruknya. Tetapi mereka bahkan lebih mengerti dampak destruktifnya bagi masa depan negara. Gayus dan kawan-kawan adalah kaum akademikus yang cerdik, sehingga dipercaya untuk menangai masalah pajak.
Pendidikan di Indoensia telah terjebak sebagai “alat kekuasaan”.  Pendidikan yang tadinya netral, tidak memihak, dan objektif, berubah menjadi ajang pertarungan kekuasaan yang penuh interest, konflik, dan bahkan seringkali dimuati dengan kepentingan ideologis yang bersifat memihak dan subjektif. Dalam kondisi demikian, pendidikan yang tadinya menjadi sarana mencari kebenaran dan autentisitas diri manusia berubah menjadi sarana “pembenaran” dan arena pencarian jati diri yang semu, abstrak, dan jauh dari nilai moralitas kemanusiaaan. Dalam keterpautan ekonomi, pendidikan saat ini hanya dijadikan sebagai lembaga “pengeruk” kekayaan belaka, tidak peduli kondisi kemiskinan yang sedang mendera bangsa.
Terjebak dalam permainan kekuasaan dan ekonomi, membawa pendidikan bangsa ini pada lubang hitam paling dalam. Terbukti, mereka yang tersangka dan terdakwa dalam berbagai kasus korupsi adalah kaum elite berdasi. Ya, mereka adalah graduated dari lembaga pendidikan tinggi kita. Semakin banyak lulusan perguruan tinggi, bukannya semakin maju negeri ini, tetapi justru malah semakin subur korupsi dan semakin jelas lonceng kematian demokratisasi. Lembaga pendidikan menjadi pencetak koruptor (the maker of corruptor) paling prestisius yang setiap saat, bahkan setiap detik akan menghadang laju kemajuan bangsa. Korupsi para kaum berdasi memang telah membawa konstruksi titik nadir kematian bangsa, sehingga dalam suatu kesempatan A. Syafi’I Ma’arif (2005) mengatakan kerusakan bangsa Indonesia akibat korupsi sudah hampir sempurna, dan sebentar lagi, Franz Magnis-Suseno mengungkapkan, Indonesia tinggal menunggu waktu tergelincir dan masuk jurang. 
Dari fenomena demikian, apa yang harus dilakukan lembaga pendidikan, untuk tidak hanya menghapus stereotip pencetak koruptor, namun juga membangun ideologi kehidupan yang anti-korupsi? Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun ideologisasi pendidikan anti korupsi.
Pertama, menempatkan pendidikan sebagai saran membentuk karakter. Atau dalam bahasa pedagog Jerman, FW Foerster (1869-1966), kita harus menciptakan pendidikan karakter. Dalam pandangan Foester, ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter; keteraturan interior dimana setiap tindakan di ukur berdasarkan hirarki nilai, koherensi yang memberi keberanian, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambnf pada situasi baru atau takut resiko, memberikan otonomi dalam menginternalisasikan aturan luar menjadi nilai bagi pribadi, dan membangun keteguhan dan kesetiaan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan (Doni Kusuma, A: 2006). Kematangan empat nilai dasar Foerster tersebut akan membangun forma seorang pribadi dalam segala tindakannya. Sosok pribadi tangguh yang siap menerjang ketimpangan yang melanda masyarakat, khususnya korupsi.
Kedua, setelah tercipta karakter, maka perlu membangun kurikulum yang selalu mengutuk korupsi sebagai kemunkaran sosial. Dalam setiap materi pelajaran, seorang guru seharusnya tidak hanya menjelaskan makna tekstual teori ilmu pengetahuan, namun juga mampu mengkontekstualisasikan dengan fenomena ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Dengan integrasi teori dan realitas, maka kurikulum pendidikan, selain tidak menjemukan siswa, namun juga mampu mengantarkan mereka menuju hampaan pengetahuan yang begitu luas dan dahsyat. Mereka tidak kaya dengan pengetahuan, namun juga pengalaman hidup sebagai bekal dimasa depan.
Ketiga, melakukan real action, aksi nyata dalam pemberantasan korupsi. Aksi nyata ini bisa bekerja sama dengan lembaga peradilan yang menyeret para koruptor atau lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap kebijakan pemberantasan korupsi. Dengan aksi nyata tersebut, siswa atau bahkan para mahasiswa akan melihat secara riil kenyataan korupsi di Indonesia dan menjelaskan pada mereka bahwa para koruptor tersebut adalah kaum berdasi yang telah menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang paling tinggi. Dengan begitu, anak didik akan “tertampar” untuk bangkit mengembalikan moralitas pendidikan dan akhirnya akan berdedikasi seara positif terhadap kelangsungan bangsa.
Keempat, mendirikan arus baru lintas sektoral pendidikan. Dalam arti, perlu upaya gerakan massif diberbagai lembaga pendidikan pusat maupun daerah dalam menentang ulah para koruptor. Gelombang arus baru tersebut akan selalu diliput media dan nantinya lama kelamaan akan menjadi  mainstream pemikiran kemanusiaan masa depan. Dengan menjadi mainstream baru, maka pendidikan antikorupsi bukan sekedar wacana, namun sebuah gerakan yang memang sangat diperhitungkan untuk kelangsungan masa depan bangsa.
Beberapa langkah ideologisasi tersebut harus menjadi refleksi bersama bangsa sebagai wujud tanggungjawab global (global responbility) atas berbagai kemelut yang selalu menimpa bangsa. Korupsi dan dua saudara kembarnya, kolusi dan nepotisme, yangs selama ini menjadi “trilogi” penyakit bangsa harus segera lenyap dari muka bangsa. Jangan sampai trilogi penyakit bangsa ini menjadi mitologi kejahatan, karena sulit terendus jika modusnya melibatkan sindikasi yang rumit, terlebih jika di back-up oleh struktur kekuasaan politik-ekonomi yang kuat dan berlapis. Untuk itu, pendidikan antikorupsi akan menjadi “jelmaan dewa” yang akan membawa cetak biru (blue print) kemajuan bangsa di masa depan. 
*Litbang PW NU DIY

Tidak ada komentar: