Isti Zusrianah, Ketua Umum PW Fatayat NU DIY, 2011-2016.
Guru TK yang Menjadi Ketua Fatayat Yogya
(Aula, Agustus 2012)
Mbak Yoes, begitu Isti Zusrianah biasa disapa sahabat-sahabat
fatayat dan kaum muda NU di Yogyakarta. Penampilannya yang kalem dan sederhana
tidak menampakkan prestasi organisasi yang telah diraihnya. Kesederhanaannya
memang nampak dari kesehariannya yang hidup di desa, tetapi semangat
berorganisasi justru menjadikan potensi kesederhanaan itu menjadi istimewa. Ia
sederhana, tapi juga ulet, telaten, pantang menyerah dan selalu optimis. Gaya
bicaranya kalem, tidak provokatif dan penuh teori. Tetapi di balik gaya
kalemnya, ia menyimpan energi yang ajeg, konsisten, dan penuh dedikasi untuk
organisasi yang ditekuninya, Fatayat. Ia sederhana, tapi energik dan penuh
wibawa.
Itulah Mbak Yoes, Ketua Umum Pengurus Wilayah (PW) Fatayat NU
Daerah Istimewa Yogyakarta. Terpilih sebagai Ketua PW Fatayat NU DIY dalam
Konferensi Wilayah X Fatayat DIY pada 21 Desember 2011. Saat itu, ia tak menyangka akan mendapatkan amanah
menjadi Ketua PW Fatayat NU DIY. Amanah itu bukan ia banggakan, tapi ia terima dengan penuh dedikasi. Menjadi
Ketua Ketua PW Fatayat NU DIY, bagi Mbak Yoes, bukan menjadi ajang untuk merengkuh karir pribadi,
melainkan sebuah dedikasi perjuangan untuk memberdayakan kaum perempuan.
Bermula dari Usul dan “Obsesi”
Mengenal
kegiatan-kegiatan organisasi NU dimulainya sejak masih duduk di bangku SMA. Ia
mendapat inspirasi dari sang ibu yang juga menjadi aktivis organisasi di IPPNU,
Fatayat dan Muslimat. Secara tidak langsung beliau lah yang memberi daya dorong
yang besar dalam diri Mbak Yoes untuk terus berjuang di NU.
Awalnya
ia mengikuti kegiatan NU di Pengurus Anak Cabang (PAC) Fatayat Sewon, ia
memiliki ide menarik untuk memajukan kegiatan PAC Sewon. Dari satu ide tersebut
kemudian sahabat-sahabatnya mempercayakan ia menjadi Ketua PAC Fatayat NU Kec.
Sewon sekitar tahun 1990-an.
Inilah tonggak pertamanya ia menyelami organisasi. Mbak Yoes dikenal sebagai
sosok yang memiliki ide-ide cemerlang, namun kesulitan yang ia hadapi adalah
karena anggota PAC memiliki banyak perbedaan, salah satu yang mencolok adalah perbedaan
status pendidikan. Tetapi Mbak Yoes tidak putus asa, ide cemerlangnya tetap ia
ungkapkan dengan mengadakan acara yang mampu menjembatani perbedaan
sahabat-sahabat PAC.
“Kalau
saya mengadakan acara yang standar, seperti yasinan, dziba’an, sholawatan, dan
sebagainya, maka sahabat yang status pendidikannya tinggi merasa bosan dan
kurang menarik, namun ketika saya mengadakan acara yang ilmiah, sahabat yang
status pendidikannya menengah ke bawah akan merasa minder dan terkucilkan. Maka
saya punya ide membuat kegiatan semi ilmiah bernama “Obsesi” (obrolan seputar remaja dan syi’ar
Islam).” Jelasnya.
Saat
itu mendapatkan sambutan besar dari fatayat NU Bantul dan Yogya. Mulai
saat itu, PAC Sewon bukan saja mendapatkan sambuatan kaum santri saja, tetapi
juga kalangan aktivis sosial, pengamat sosial, biroktrasi pemerintah dan
sebagainya. Ini bahkan menjadi pencontohan dari berbagai PAC di Bantul. Dengan
prestasi yang diraihnya, ia menjadi Ketua PAC selama dua periode.
Kala
reformasi bergulir di Indonesia, Mbak Yoes menjadi tokoh reformis Fatayat NU di
Bantul. Tahun 1998 itu juga, Mbak Yoes mendapatkan amanah sebagai Ketua Cabang
Fatayat NU Bantul. Kegiatan-kegiatan pemberdayaan ia galakkan, banyak kegiatan
yang sukses yang ia adakan. Sama seperti di PAC, ia juga mampu memimpin selama
dua periode.
Saat
itu Mbak Yoes membuat program pemberdayaan bagi perempuan-perempuan Bantul.
Dulu Bantul dikenal sebagai pusat prostitusi. Inilah yang menjadi kegelisahan
Mbak Yoes untuk berjuang memberikan yang terbaik dari masyarakat. Ia tak ingin
nama baik Bantul justru malah dijadikan sebagai media prostitusi.
Mbak
Yoes bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan. Kemudian memelopori
berdirinya “Paguyuban Perempuan Pesisir Niswati Bahari.” Dari sini, ia mengajak
sahabat-sahabat fatayat NU Yogya untuk memberikan kontribusi besar kepada
masyarakat.
“Saya
ingin berjuang bahwa prostitusi tidak boleh dibiarkan. Dengan pendampingan itu,
kawasan pesisir kemudian pelan-pelan menjadi lebih baik. Sekarang justru
menjadi kawasan kuliner yang banyak diminati wisatawan. Angan-angan yang saya
harapkan akhirnya terwujud juga.” jelasnya.
Dengan
gerakan yang membuahkan hasil baik di PC Bantul, Mbak Yoes kemudian berkiprah
di PW Fatayat NU DIY periode 2007, ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pengurus
Wilayah Ftayat NU DIY. Kemudian pada tahun 2011 hasil Konferensi Wilayah ke X
ia terpilih menjadi Ketua.
Harapan
Untuk Fatayat NU DIY
“Saya
cukup selektif memilih para pengurus. Saya ingin bersama pengurus wilayah NU
DIY memunculkan seluruh potensi, saling bahu-membahu dalam mengembangkan
fatayat, terutama membantu kaum perempuan di desa untuk terus berdaya.” Itu
ungkapan yang disampaikan ketika ditanyai bagaimana ia memilih sahabat untuk
menjadi pengurus wilayah.
Mbak
Yoes kemudian menambahi tentang harapannya, “Saya melihat pengurus fatayat
mempunyai potensi yang besar. Kalau pengurus fatayat ini bisa menjadikan
perempuan lain menjadi kuat dan potensial, maka ini akan membuat fatayat lebih
bermanfaat. Yang jadi dosen bukan saja menjadi dosen di kampusnya saja, tetapi
juga mau membimbing kaum perempuan di desa.”
Ia
berpikir bahwa PW Fataya NU DIY, merupakan jembatan alternatif untuk pemberdayaan
pengurus anak cabang dan pengurus cabang, juga mampu memberikan kontribusi
besar bagi pemberdayaan perempuan.
“Iya,
berdaya bersama-sama, saling membantu dan bekerja sama. Harapan saya tidak
muluk-muluk, hanya semoga itu terlaksana dengan baik,” tegasnya.
Tantangan
Politik
Tantangan
besar yang selalu menghinggapi fatayat adalah persoalan politik. Ini juga
berimbas serius terhadap organisasi Fatayat. Betapa fatayat yang tidak terlibat
langsung juga kena imbasnya. Fatayat selalu berada dalam posisi “terjepit”,
karena tarikan politik praktis selalu membawa nama fatayat untuk kepentingan
sepihak masing-masing pihak.
“Sering
sekali kita akan dimobilisir untuk kepentingan partai politik tertentu. Kita
diminta aksi dengan sekian biaya yang akan ditanggung. Tetapi saya merasa tidak
mempunyai kepentingan untuk itu. Maka saya tidak mau terjebak dalam
tarikan-tarikan politik itu,” tegas Mbak Yoes.
Pada
awal tahun 2000-an, partai politik yang berafiliasi dengan kaum kaum santri
terlibat serius dalam konflik yang tak berujung. Hampir semua organ santri,
dalam hal ini NU juga Fatayat, mendapatkan tantangan serius. Yogya juga
mendapatkan tantangan itu. Mbak Yoes mencoba berdiri tetap teguh dengan
prinsipnya bahwa organisasi fatayat akan selalu berjuang di garis perjuangan.
Tidak akan terlibat dan berafilisasi dengan politik praktis. Ini ia lakukan,
karena ia berpegang dengan amanah NU yang tidak berpolitik praktis, tetapi
berpolitik kebangsaan. Inilah yang ia pegangi ketika menjadi Ketua Cabang NU
Bantul dan Ketua PW Fatayat NU DIY.
Istiqomah
Menjadi Guru TK
Sosok
sederhana dan kalem yang memiliki segudang prestasi dan kegiatan di organisasi ini
memiliki rasa kecintaan yang luar biasa kepada anak-anak kecil. Kecintaannya
itu membawanya untuk mengabdikan dirinya di salah satu Taman Kanak-Kanak (TK)
Mardi Tama Garon Sewon Bantul.
Sudah
sejak tahun 2004, Mbak Yoes mengajar TK.
Mengajar membuatnya merasakan dunia yang mengasikkan. Bertemu dengan
murid-murid kecilnya adalah sebuah momen yang indah yang selalu ia rasakan.
“Saya nikmat mengajar. Saya senang sekali bermain dengan anak-anak. Inilah yang
menjadi tugas keseharian saya. Saya bangga menjadi guru TK,” tegasnya.
Mbak
Yoes merupakan guru yang gemar memberikan motivasi pada murid-muridnya. Terlihat
ketika banyak dari mereka sering bermain ke rumahnya hanya untuk belajar dan
membaca buku. Keinginan belajar dari murid-murid TK ini tak lain karena
sentuhan tangan dari Mbak Yoes yang selalu memberikan motivasi kepada mereka
untuk menanamkan bahwa belajar itu penting.
“Murid-murid
saya sering datang ke rumahnya untuk pinjam buku-buku saya. Mereka senang
datang ke rumah untuk belajar. Para orang tua juga senang melihat anaknya
belajar di rumah. Ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya,” jelasnya.
Aktif
di organisasi bukan berarti tidak mampu konsisten di TK, justru malah bertemu
dengan murid-murid TK merupakan pelepas beban yang diembannya. Bahkan mampu
merefres kembali pikiran yang penuh dengan permasalahan di organisasi. Memang
menjadi seorang guru TK tidaklah memiliki nilai materi yang banyak, namun bagi
Mbak Yoes menjadi Guru TK adalah kepuasan tersendiri ketika melihat anak
didiknya dapat menimba ilmu dengan senang dan orang tua yang sangat apresiatif
dengan pengajarannya.
“Ucapan
terima kasih orang tua kepada saya, jauh lebih mahal harganya dari pada hanya
berharap nilai materi saja.” Jelasnya.
Selain
itu banyak pelajaran yang ia dapatkan selama menjadi guru TK. Anak TK pasti
sering punya konflik atau bertengkar dengan temannya, namun pertengkaran itu
tidak bertahan lama, bahkan sesaat kemudian mereka bisa bermain bersama lagi.
Ini yang membuat mbak Yoes beajar menangani konflik dan berlajar bijak ketika
berhadapan dengan kaum oganisatoris yang heterogen. “kejujuran, polos dan apa
adanya.” Inilah ciri-ciri anak yang justru memberikan banyak pelajaran hidup
bagi Mbak Yoes.
“Saya
merasa mengajar TK justru menjadi energi bagi saya. Bermain dengan anak-anak
sangat ceria, bahagia. Hati polos anak-anak justru memberikan cermin bagi
anak-anak TK.” Sisi-sisi kemurnian penuh nurani dari anak-anak inilah yang
kemudian menjadi pelajaran berharga untuk menghadapi persoalan di dalam
mengelola PW Fatayat NU DIY.
Itulah Mbak Yoes,
perempuan berhati mulia dan memiliki
semangat berjuang tinggi untuk memberdayakan perempuan-perempuan yang masih
termarjinalkan. Sosok perempuan seperti Mbak Yoes inilah yang diharapkan oleh
bangsa Indonesia khususnya warga NU. Profesi menjadi guru TK bukanlah profesi
yang memalukan, bahkan guru TK adalah sosok yang mampu menyelami kenuranian
hati manusia sehingga mampu menjadi manusia yang bernurani. (Muyassarotul/Afif)