Senin, 13 Agustus 2012

Profil


Isti Zusrianah, Ketua Umum PW Fatayat NU DIY, 2011-2016.
Guru TK yang Menjadi Ketua Fatayat Yogya

(Aula, Agustus 2012)
Mbak Yoes, begitu Isti Zusrianah biasa disapa sahabat-sahabat fatayat dan kaum muda NU di Yogyakarta. Penampilannya yang kalem dan sederhana tidak menampakkan prestasi organisasi yang telah diraihnya. Kesederhanaannya memang nampak dari kesehariannya yang hidup di desa, tetapi semangat berorganisasi justru menjadikan potensi kesederhanaan itu menjadi istimewa. Ia sederhana, tapi juga ulet, telaten, pantang menyerah dan selalu optimis. Gaya bicaranya kalem, tidak provokatif dan penuh teori. Tetapi di balik gaya kalemnya, ia menyimpan energi yang ajeg, konsisten, dan penuh dedikasi untuk organisasi yang ditekuninya, Fatayat. Ia sederhana, tapi energik dan penuh wibawa.
Itulah Mbak Yoes, Ketua Umum Pengurus Wilayah (PW) Fatayat NU Daerah Istimewa Yogyakarta. Terpilih sebagai Ketua PW Fatayat NU DIY dalam Konferensi Wilayah X Fatayat DIY pada 21 Desember 2011. Saat itu, ia tak menyangka akan mendapatkan amanah menjadi Ketua PW Fatayat NU DIY. Amanah itu bukan ia banggakan, tapi ia terima dengan penuh dedikasi. Menjadi Ketua Ketua PW Fatayat NU DIY, bagi Mbak Yoes, bukan menjadi ajang untuk merengkuh karir pribadi, melainkan sebuah dedikasi perjuangan untuk memberdayakan kaum perempuan.

Bermula dari Usul dan “Obsesi”
Mengenal kegiatan-kegiatan organisasi NU dimulainya sejak masih duduk di bangku SMA. Ia mendapat inspirasi dari sang ibu yang juga menjadi aktivis organisasi di IPPNU, Fatayat dan Muslimat. Secara tidak langsung beliau lah yang memberi daya dorong yang besar dalam diri Mbak Yoes untuk terus berjuang di NU.
Awalnya ia mengikuti kegiatan NU di Pengurus Anak Cabang (PAC) Fatayat Sewon, ia memiliki ide menarik untuk memajukan kegiatan PAC Sewon. Dari satu ide tersebut kemudian sahabat-sahabatnya mempercayakan ia menjadi Ketua PAC Fatayat NU Kec. Sewon sekitar tahun 1990-an. Inilah tonggak pertamanya ia menyelami organisasi. Mbak Yoes dikenal sebagai sosok yang memiliki ide-ide cemerlang, namun kesulitan yang ia hadapi adalah karena anggota PAC memiliki banyak perbedaan, salah satu yang mencolok adalah perbedaan status pendidikan. Tetapi Mbak Yoes tidak putus asa, ide cemerlangnya tetap ia ungkapkan dengan mengadakan acara yang mampu menjembatani perbedaan sahabat-sahabat PAC.
“Kalau saya mengadakan acara yang standar, seperti yasinan, dziba’an, sholawatan, dan sebagainya, maka sahabat yang status pendidikannya tinggi merasa bosan dan kurang menarik, namun ketika saya mengadakan acara yang ilmiah, sahabat yang status pendidikannya menengah ke bawah akan merasa minder dan terkucilkan. Maka saya punya ide membuat kegiatan semi ilmiah bernama Obsesi (obrolan seputar remaja dan syi’ar Islam).” Jelasnya.
Saat itu mendapatkan sambutan besar dari fatayat NU Bantul dan Yogya. Mulai saat itu, PAC Sewon bukan saja mendapatkan sambuatan kaum santri saja, tetapi juga kalangan aktivis sosial, pengamat sosial, biroktrasi pemerintah dan sebagainya. Ini bahkan menjadi pencontohan dari berbagai PAC di Bantul. Dengan prestasi yang diraihnya, ia menjadi Ketua PAC selama dua periode.
Kala reformasi bergulir di Indonesia, Mbak Yoes menjadi tokoh reformis Fatayat NU di Bantul. Tahun 1998 itu juga, Mbak Yoes mendapatkan amanah sebagai Ketua Cabang Fatayat NU Bantul. Kegiatan-kegiatan pemberdayaan ia galakkan, banyak kegiatan yang sukses yang ia adakan. Sama seperti di PAC, ia juga mampu memimpin selama dua periode.
Saat itu Mbak Yoes membuat program pemberdayaan bagi perempuan-perempuan Bantul. Dulu Bantul dikenal sebagai pusat prostitusi. Inilah yang menjadi kegelisahan Mbak Yoes untuk berjuang memberikan yang terbaik dari masyarakat. Ia tak ingin nama baik Bantul justru malah dijadikan sebagai media prostitusi.
Mbak Yoes bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan. Kemudian memelopori berdirinya “Paguyuban Perempuan Pesisir Niswati Bahari.” Dari sini, ia mengajak sahabat-sahabat fatayat NU Yogya untuk memberikan kontribusi besar kepada masyarakat.
“Saya ingin berjuang bahwa prostitusi tidak boleh dibiarkan. Dengan pendampingan itu, kawasan pesisir kemudian pelan-pelan menjadi lebih baik. Sekarang justru menjadi kawasan kuliner yang banyak diminati wisatawan. Angan-angan yang saya harapkan akhirnya terwujud juga.” jelasnya.
Dengan gerakan yang membuahkan hasil baik di PC Bantul, Mbak Yoes kemudian berkiprah di PW Fatayat NU DIY periode 2007, ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pengurus Wilayah Ftayat NU DIY. Kemudian pada tahun 2011 hasil Konferensi Wilayah ke X ia terpilih menjadi Ketua.

Harapan Untuk Fatayat NU DIY
“Saya cukup selektif memilih para pengurus. Saya ingin bersama pengurus wilayah NU DIY memunculkan seluruh potensi, saling bahu-membahu dalam mengembangkan fatayat, terutama membantu kaum perempuan di desa untuk terus berdaya.” Itu ungkapan yang disampaikan ketika ditanyai bagaimana ia memilih sahabat untuk menjadi pengurus wilayah.
Mbak Yoes kemudian menambahi tentang harapannya, “Saya melihat pengurus fatayat mempunyai potensi yang besar. Kalau pengurus fatayat ini bisa menjadikan perempuan lain menjadi kuat dan potensial, maka ini akan membuat fatayat lebih bermanfaat. Yang jadi dosen bukan saja menjadi dosen di kampusnya saja, tetapi juga mau membimbing kaum perempuan di desa.” 
Ia berpikir bahwa PW Fataya NU DIY, merupakan jembatan alternatif untuk pemberdayaan pengurus anak cabang dan pengurus cabang, juga mampu memberikan kontribusi besar bagi pemberdayaan perempuan.
“Iya, berdaya bersama-sama, saling membantu dan bekerja sama. Harapan saya tidak muluk-muluk, hanya semoga itu terlaksana dengan baik,” tegasnya.

Tantangan Politik
Tantangan besar yang selalu menghinggapi fatayat adalah persoalan politik. Ini juga berimbas serius terhadap organisasi Fatayat. Betapa fatayat yang tidak terlibat langsung juga kena imbasnya. Fatayat selalu berada dalam posisi “terjepit”, karena tarikan politik praktis selalu membawa nama fatayat untuk kepentingan sepihak masing-masing pihak.
“Sering sekali kita akan dimobilisir untuk kepentingan partai politik tertentu. Kita diminta aksi dengan sekian biaya yang akan ditanggung. Tetapi saya merasa tidak mempunyai kepentingan untuk itu. Maka saya tidak mau terjebak dalam tarikan-tarikan politik itu,” tegas Mbak Yoes.
Pada awal tahun 2000-an, partai politik yang berafiliasi dengan kaum kaum santri terlibat serius dalam konflik yang tak berujung. Hampir semua organ santri, dalam hal ini NU juga Fatayat, mendapatkan tantangan serius. Yogya juga mendapatkan tantangan itu. Mbak Yoes mencoba berdiri tetap teguh dengan prinsipnya bahwa organisasi fatayat akan selalu berjuang di garis perjuangan. Tidak akan terlibat dan berafilisasi dengan politik praktis. Ini ia lakukan, karena ia berpegang dengan amanah NU yang tidak berpolitik praktis, tetapi berpolitik kebangsaan. Inilah yang ia pegangi ketika menjadi Ketua Cabang NU Bantul dan Ketua PW Fatayat NU DIY.

Istiqomah Menjadi Guru TK
Sosok sederhana dan kalem yang memiliki segudang prestasi dan kegiatan di organisasi ini memiliki rasa kecintaan yang luar biasa kepada anak-anak kecil. Kecintaannya itu membawanya untuk mengabdikan dirinya di salah satu Taman Kanak-Kanak (TK) Mardi Tama Garon Sewon Bantul.
Sudah sejak tahun 2004, Mbak Yoes mengajar TK.  Mengajar membuatnya merasakan dunia yang mengasikkan. Bertemu dengan murid-murid kecilnya adalah sebuah momen yang indah yang selalu ia rasakan. “Saya nikmat mengajar. Saya senang sekali bermain dengan anak-anak. Inilah yang menjadi tugas keseharian saya. Saya bangga menjadi guru TK,” tegasnya. 
Mbak Yoes merupakan guru yang gemar memberikan motivasi pada murid-muridnya. Terlihat ketika banyak dari mereka sering bermain ke rumahnya hanya untuk belajar dan membaca buku. Keinginan belajar dari murid-murid TK ini tak lain karena sentuhan tangan dari Mbak Yoes yang selalu memberikan motivasi kepada mereka untuk menanamkan bahwa belajar itu penting.
“Murid-murid saya sering datang ke rumahnya untuk pinjam buku-buku saya. Mereka senang datang ke rumah untuk belajar. Para orang tua juga senang melihat anaknya belajar di rumah. Ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya,” jelasnya.
Aktif di organisasi bukan berarti tidak mampu konsisten di TK, justru malah bertemu dengan murid-murid TK merupakan pelepas beban yang diembannya. Bahkan mampu merefres kembali pikiran yang penuh dengan permasalahan di organisasi. Memang menjadi seorang guru TK tidaklah memiliki nilai materi yang banyak, namun bagi Mbak Yoes menjadi Guru TK adalah kepuasan tersendiri ketika melihat anak didiknya dapat menimba ilmu dengan senang dan orang tua yang sangat apresiatif dengan pengajarannya.
“Ucapan terima kasih orang tua kepada saya, jauh lebih mahal harganya dari pada hanya berharap nilai materi saja.” Jelasnya.
Selain itu banyak pelajaran yang ia dapatkan selama menjadi guru TK. Anak TK pasti sering punya konflik atau bertengkar dengan temannya, namun pertengkaran itu tidak bertahan lama, bahkan sesaat kemudian mereka bisa bermain bersama lagi. Ini yang membuat mbak Yoes beajar menangani konflik dan berlajar bijak ketika berhadapan dengan kaum oganisatoris yang heterogen. “kejujuran, polos dan apa adanya.” Inilah ciri-ciri anak yang justru memberikan banyak pelajaran hidup bagi Mbak Yoes.
“Saya merasa mengajar TK justru menjadi energi bagi saya. Bermain dengan anak-anak sangat ceria, bahagia. Hati polos anak-anak justru memberikan cermin bagi anak-anak TK.” Sisi-sisi kemurnian penuh nurani dari anak-anak inilah yang kemudian menjadi pelajaran berharga untuk menghadapi persoalan di dalam mengelola PW Fatayat NU DIY.
Itulah Mbak Yoes, perempuan  berhati mulia dan memiliki semangat berjuang tinggi untuk memberdayakan perempuan-perempuan yang masih termarjinalkan. Sosok perempuan seperti Mbak Yoes inilah yang diharapkan oleh bangsa Indonesia khususnya warga NU. Profesi menjadi guru TK bukanlah profesi yang memalukan, bahkan guru TK adalah sosok yang mampu menyelami kenuranian hati manusia sehingga mampu menjadi manusia yang bernurani. (Muyassarotul/Afif)

Warta


Menyebar  Keadilan dan Kesetaraan di Bulan Ramadhan  
(Saqifa, 8/8/12) Fatayat Kota Yogyakarta menghadirkan Pengajian intensif Kitab Kuning “Manbau’s Sa’adah” bekerja sama dengan Yayasan LKiS. Pengajian intensif ini merupakan salah satu cara menyebarkan ide-ide kesetaraan dan keadilan bagi  laki-laki dan perempuan dalam Islam. Di samping itu, pengajian kitab kuning adalah  bagian dari pelestarian tradisi NU pada bulan Ramadhan, yang  mengkaji persoalan agama secara sistematis  mendasarkan pada   sebuah  karya seorang ulama.
Melalui kegiatan ini, kami mencoba mengajak  kepada seluruh masyarakat kota Yogyakarta  baik dari kalangan santri maupun non santri, untuk bergabung bersama dalam mengkaji kitab  ini. Dalam pelaksanaan pengajian yang sudah berlangsung  6 kali pertemuan, ternyata komposisi peserta sangat  beragam, dari berbagai latar  belakang . Aktifis ormas keagamaan baik Muslim maupun no Muslim ,  peneliti asing, ibu-ibu rumah tangga,  aktifis Mahasiswa, dan aktifis NGO yang sudah malang melintang melakukan advokasi  kesetaraan dan pluralisme.
Judul lengkap kitab ini adalah  Manbau’s Sa’adah: Fi Ususi Husn al-Mu’ayarah wa Ahamiyat as-Shihah al-Injabiyah fi al-Hayat az-Zawiyah (Telaga Kebahagiaan : Prinsip-prinsip Berperilaku Baik dan Kesehatan Reproduksi dalam Kehidupan Rumah Tangga). Kitab  ini adalah salah satu karya ulama muda   NU, KH Faqihuddin Abdul Kodir,  yang mencoba menawarkan paradigma baru dalam melihat relasi laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga.  Sehingga tidak heran, bahwa kitab ini diedit oleh seorang aktifis Musawwah Global, Mesir , yaitu Syeh Hadil El-Khouli.
Terbitnya  kitab ini mendapat sambutan yang luar biasa diantaranya seorang ulama dan aktifis HAP (Hak Asasi Perempuan) yaitu KH. Husein Muhammad dari PP. Dar al-Tauhid, Cirebon, yang sekaligus sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab ini sebagai guru dan teman dalam berdiskusi. Penghargaan juga disampaikan  oleh ketua PBNU KH Said Aqiel Siradj atas terbitnya kitab ini dalam kata pengatarnya. Yaitu, kitab ini  tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan di lingkungan pesantren Indonesia, tetapi juga  menambah sumbangan NU dalam memperjuangkan hak-hak  perempuan, yang telah dilakukan oleh ulama  NU  sejak tahun 1920.
Gambaran besar dari kitab ini membahas tentang hak-hak perempuan,  kewajiban suami istri yang adil dan  setara, hubungan orang dewasa dengan anak, dan berbagai persoalan khas dalam rumah tangga. Menurut kitab ini bahwa peran  antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga tidaklah baku , tetapi fleksibel dan bisa dipertukarkan antar kedua pihak. Isi kitab ini diperkaya oleh argumen-argumen yang mendasarkan tidak saja pada mazhab klasik namun juga mazhab kontemporer. Karena kitab ini diperuntukkan pesantren Indonesia, maka kitab ini tidak bisa meninggalkan kitab pusaka pesantren, diantaranya : Ihya Ulumuddin, Tafsir Ibn Katsir, Fath al-Bari, Majmu Nawawi, Fath al-Wahhab, Fath al-Muin, I’anat ath-Thalibin, dll.
Sementara itu, penyampaian kitab ini menjadi  sangat menarik peserta pengajian karena   ustadh  Muhammad Ihsanuddin dari PP Krapyak Yogyakarta, tidak saja menguasai kitab-kitab klasik yang biasa dikaji di pesantren, namun beliau juga sangat memahami isu hak asasi perempuan. Di tumpang dengan pengalaman beliau yang sebelumnya adalah seorang aktivis di Rahima, lembaga  yang melakukan promosi dan advokasi untuk kesetaraan dan keadilan  perempuan.
Karena kajian kitab ini belum selesai pada bulan Ramadhan,  maka kami penyelenggara akan meneruskan pengajian ini setelah hari raya. Mengingat pengajian ini hanya dilaksanakan dua kali dalam seminggu di bulan Ramdahan sampai pada minggu ke tiga. Karena, peserta sudah disibukkan untuk mempersiapkan mudik lebaran. Dengan demikian, kami sebagai penyelenggara masih membuka  peserta baru yang berminat dalam pengajian ini. Karena sebenarnya kitab ini ada 3 bab, dan  baru dibahas pada bab 2 awal. Akhirnya, kami sampaikan terima kasih dan selamat bergabung dengan pengajian ini di paska lebaran.
(Enik Maslahah, Pengurus Fatayat Kota Yogyakarta)


Menebar Rahma Untuk Masa Depan NKRI yang lebih Maslahah


(Saqifa-Yogya) Negara yang penuh rahma dan berkah, sangat diharapkan oleh semua warganegara Indonesia, apapun golongan, ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, suku, bahasa dan status sosialnya. Untuk itu silaturahmi di antara semua umat perlu terus-menerus dibina untuk merajut ukhuwah (persaudaraan) yang lebih harmonis. Lebih-lebih di kalangan ormas Islam. Bila perlu melakukan pertukaran umat (people changing), kata Sahiron Syamsuddin, P.hD, Pil. selaku moderator.  
 Di pundak ormas Islam lah Pendidikan politik yang humanis dan bermoral itu dapat bermula. Apalagi akhir-akhir ini suhu politik tanah air berkembang 'memanas'. Bersamaan itu bermunculan gerakan dan ormas Islam yang mengatasnamakan Islam, namun gerakannya justru jauh panggang dari asas Islam yang sebenarnya. Bukankah Islam yang sebenarnya itu membawa ‘rahma’, kasih sayang bagi semua makhluk di alam semesta ini. Di samping itu kerapkali bermunculan konflik di antara umat atau gerakan Islam, padahal semua umat dan ormas Islam berlandaskan pada landasan yang sama Qur’an dan Sunnah, kata ketua panitia Pelaksana.
 Hemat penulis ‘konflik’ (perbedaan pendapat dan pemikiran) sah-sah saja, asal tidak berujung pada kekerasan apalagi sampai pertumpahan darah. Bukankah Islam sendiri memberikan sebuah penghormatan bahwa perbedaan pendapat diantara umat Islam adalah rahmat, merujuk pada sabda Nabi. Bukankah Islam juga memberikan hadiah pada umatnya yang berijtihat, meski itu salah. Negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Apakah Indonesia termasuk Negara yang memiliki tingkat konflik yang Tinggi (low tolerance) atau termasuk negara yang tingkat konfliknya rendah (high tolerance)?
 Dengan begitu PWNU DIY telah melaksanakan sebuah sarasehan pada hari Kamis, 28 Juni 2012 yang mengangkat tema “Merajut Ukhuwah, Menebar Rohmah untuk Masa Depan NKRI yang Lebih Maslahah” dengan menghadirkan pembicara Prof. Dr. Yunahar Ilyas, M.Ag. dari PP Muhamadiyah, Drs. KH. Ali As’ad M.M. pengasuh Pesantren Nailul ‘Ula dan Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A. dari FISIPOL UGM. Semanir ini di hadiri  oleh pengurus ormas-ormas Islam se-DIY. Di Kantor PWNU lantai III Jl. MT. Haryono No. 41/42 Yogyakarta.
Dalam seminar tersebut diungkap bahwa umat Islam seharusnya membangun ‘ukhuwah’ (persaudaran) dengan apapun dan siapapun ciptaan Tuhan, tidak memandang apakah itu jin, iblis, malaikat, tumbuh-tumbuhan atau binatang, lebih-lebih dengan sesama manusia. Manusia dengan manusia lainnya merupakan saudara sedarah (ada hubungan darah). Bahasa al Qur'an menyebutnya ‘ihwah’, dari jalur Adam dan Hawa. Sedang manusia dengan makhluk lainnya adalah saudara yang tidak ada hubungan darah. Bahasa al Qur’an menyebut ‘ihwan’, ujar Kiyai Ali As’ad. Walau fakta sejarah memperlihatkan bahwa sejarah konflik merupakan warisan sejarah anak manusia, konflik Qabil dan Habil. Dengan demikian bagaimana agar konflik kekerasan tidak mewaris pada kita semua, makhluk Tuhan di muka bumi, lebih-lebih sesama umat Islam?
 Islam yang saling menghormati, tidak saling mengejek, mencaci, berprasangka, menjelekkan, dan saling memahami karakter masing-masing serta saling belajar perlu terus-menerus ditanamkan pada diri masing-masing individu. Dengan begitu proses Indonesia menuju ‘daru hadhoro’ (Negara yang maju) akan terwujud, ujar Prof. Yunahar Ilyas. Ajaran Islam yang ramah, toleran dan solider pada umumnya baru dirasakan dan tertanamkan dalam diri pemuka agama (ulama). Lalu bagaimana keberagamaan di kalangan umat ‘akar rumput’ (masyarakat awam)? Pertanyaan inilah yang sebenarnya acapkali menggelitik dan perlu digarap serta dijadikan ladang amal bagi pemuka agama. Agar semua umat juga merasakan keberagamaan yang sama, yakni keberagamaan rahmatal lil 'alamin dalam rangka membangun masa depan NKRI yang lebih Maslahah.
 (Lathifatul Izzah)