Jendela Buku

NU, Lesbumi dan Politik Kebudayaan
Data buku:
Judul Buku    : Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan  
Penulis            : Choirotun Chisaan
Penerbit          : LKiS, Yogyakarta
Cetakan          : 1, Februari 2008
Tebal buku    : xiv + 310 halaman 

 Buku ini merupakan buku sangat menarik. Bukan saja pembaca akan mengenal apa itu Lesbumi, tetapi juga akan diajak mengembara dalam belantara kebudayaan Indonesia, khususnya yang terkait dengan strategi politik kebudayaan yang dijalankan NU. Hj. Choirotun Chisaan, MA., sang penulis, tak lain adalah sosok yang sangat dekat dengan organisasi NU, khususnya PW Fatayat NU DIY. Selamat membaca ulasan singkat tentang buku Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan. Semoga menambah banyak wacana dan pengetahuan.

Era Indonesia modern, adalah era dimana telah telah terjadi hubungan yang sangat erat antara seni budaya dan politik. Bahkan pada fase tertentu, seni budaya dipandang sebagai produk dari sebuah proses politik itu sendiri. Sehingga hampir bisa dipastikan bahwa partai-partai politik yang memiliki massa besar pada waktu itu, seperti PKI, Masyumi, NU dan lain sebagainya, semuanya memiliki lembaga seni budayanya masing-masing. Fenomena ini dapat kita jumpai terutama ketika menjamurnya berbagai lembaga kesenian dan kebudayaan yang kemudian berafiliasi dengan partai politik tertentu dalam kurun waktu antara 1950-1960-an.
Ditengah menjamurnya lembaga seni budaya tersebut, lahir pula sebuah lembaga kebudayaan yang bernama Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia atau disingkat Lesbumi. Masa kelahiran Lesbumi (1962) itu sendiri adalah masa dimana telah terjadi gejolak yang cukup serius yang dipicu oleh perbedaan aliran pada masing-masing lembaga kesenian dan kebudayaan pada saat itu, yaitu perdebatan antara penganut realisme sosialis dan pendukung humanisme universal, yaitu antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI di satu pihak dan para pencetus Manifes kebudayaan di pihak lain.
Namun demikian, berbeda dengan Lekra yang dilekati dengan garis aliran realisme sosialis maupun kubu Manifes Kebudayaan yang dilekati garis aliran humanisme universal, Lesbumi lahir dengan membawa karakter utama yaitu kentalnya akan warna ”religius” dalam produk-produk seni budayanya. Warna ini sengaja diambil oleh Lesbumi dengan maksud disamping untuk menghidari dua titik ekstrim antara kubu Lekra dan Manifes Kebudayaan juga memberikan alternatif baru dalam berkesenian dengan memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) ketimbang sebuah ”pertarungan” politik. Oleh karena itu, kemunculan Lesbumi tentu juga ikut mewarnai debat kebudayaan yang terjadi pada saat itu.
Ironisnya, dalam setiap memperbincangkan debat kebudayaan, terutama pada kurun waktu 1950-1965, nama Lebumi seolah ”lenyap” entah kemana. Berangkat dari persoalan itulah, buku yang ditulis oleh Choirotun Chisaan dengan judul ”Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan” ini hadir ditengah-tengah kita. Alih-alih menganalisis mengenai tiga persoalan pokok, yaitu historisitas Lesbumi, posisi Lesbumi ditengah perdebatan politik aliran seni budaya di Indonesia kurun waktu 1960-an serta dinamika intern yang terjadi di tubuh Lesbumi itu sendiri, buku ini mencoba mengungkap fenomena Lesbumi yang hilang dari wacana dalam membahas ”debat” kebudayaan yang terjadi pada masa-masa itu. 
Lesbumi itu sendiri adalah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan NU (Nahdhlatul Ulama) yaitu pada saat NU menarik diri dari partai Masyumi dan menjadi partai politik sendiri di tahun 1952. Secara resmi, Lesbumi dibentuk pada 28 Maret 1962 dengan beranggotakan para artis, pelukis, bintang film, pemain pentas, sastrawan juga para ulama yang memiliki latar belakang seni cukup baik. Setidaknya ada dua momen penting yang melatari kelahiran Lesbumi. Pertama, adalah
momen politik dimana pada saat itu telah dikeluarkan Manifesto Politik pada 1959 oleh Presiden Soekarno dan ideologisasi Nasakom dalam tata kehidupan sosial budaya dan politik Indonesia.
Kedua, adalah momen budaya dimana pada saat itu dirasa perlu untuk memberikan advokasi terhadap kelompok-kelompok seni-budaya dilingkungan Nahdhiyin dan kebutuhan akan modernisasi seni-budaya itu sendiri. Dalam konteks dua momen historis itulah tiga tokoh pendiri Lesbumi diantaranya; Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani menyerukan akan perlunya pendefinisian kembali ”agama”  dengan alasan sebagaimana yang telah kita uraikan dimuka.
Namun demikian, dalam spektrum yang lebih luas, keniscayaan kelahiran Lesbumi disebabkan oleh, menurut Asrul Sani, adanya berbagai macam tantangan yang datang dari berbagai arah yang mengitari kaum muslimin, yang salah satunya yaitu terkait kedekatan Lekra dengan Partai Komunis Indonesia atau PKI (hlm. 120). Bahkan kedekatan hubungan Lekra dan PKI ini juga tidak hanya dirasakan oleh seniman budayawan yang membentuk Lesbumi, tetapi juga oleh seniman budayawan yang bersikap non-partai.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak kongresnya tahun 1957, PKI sudah bertekad mengusai bidang seni dan budaya dengan segala cara. Antara lain dengan menghancurkan tonggak-tonggak bidang kesenian dipihak lawan, seperti meruntuhkan H.B Jassin, Menuduh Hamka sebagai plagiat, kemudian secara terang-terangan ingin mengusai masyarakat perfilman, dan lain-lain ditambah kedekatan PKI dengan Presiden Soekarno sejak 1960, maka dengan sendirinya perjuangan Lekra menjadi kian hebat dan semua musuhnya pun dibabat habis.
Namun tidak demikian dengan Lesbumi. Lembaga yang berada dibawah naungan NU ini tidak mudah diruntuhkan bahkan oleh Lekra sekalipun kendati didalam tubuh Lesbumi terdapat musuh besar  Lekra, yaitu Usmar Ismail, Asrul Sani, dan penyair Anas Ma’roef (hlm. 43). Demikian itu karena induk dari Lesbumi (NU) disamping turut mendukung Soekarno, NU juga memiliki kekuatan besar sehingga tidak mudah dikalahkan. Sehingga apapun kiprah yang dilakukan oleh PKI, nyaris tidak ada yang tidak tertandingi oleh NU.
Sayangnya, kecenderunngan yang ada pada saat ini dalam memotret NU hanya melulu mengarah pada perspektif politik dan sosial keagamaannya. Jarang dari para pengamat atau peneliti yang mencurahkan perhatiannya secara khusus pada gerakan Lesbumi. Sehingga menjadikan sejarah dinamika Lesbumi menjadi kian tenggelam. Maka sejalan dengan kepentingan tersebut, buku ini merupakan bagian dari upaya untuk mengungkapkan sisi lain dari NU menyangkut aspek seni budaya dan pergaulannya. Oleh karena itu, kehadiran buku ini sangat penting terutama bagi mereka yang berminat pada persoalan debat politik kebudayaan selama tahun 1950-1960-an. (Redaksi)

Tidak ada komentar: