Sabtu, 17 Desember 2011

Sharing


Perempuan oh Perempuan ...
Oleh: Ening Herniti*


Kecantikan adalah anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri. Tetapi, tak jarang kecantikan dapat membawa petaka bagi pemiliknya bila tidak mampu menempatkan anugerah yang terindah tersebut pada tempatnya. Sebagian perempuan berjuang mati-matian agar diakui eksistensi dirinya. Namun, sebagian besar perempuan lainnya menghianati kaumnya sendiri demi sesuap nasi, kepopularitasan, dan gaya-gayaan.
Sering kali kita harus membaca istighfar (atau alhamdulillah?) bila melihat cover tabloid atau majalah yang sangat mempertontonkan keindahan tubuh perempuan hanya untuk menarik konsumen. Hal inilah yang patut dipertanyakan perempuan tak ubahnya barang komoditi untuk diperjualbelikan. Saya yakin perempuan yang sedang memperjuangkan haknya akan mengelus dada dan geleng kepala.
Para aktivis perempuan memprotes keras atas pemajangan perempuan dalam iklan yang hanya dimanfaatkan untuk menarik konsumen. Namun, hal itu dianggap sebagai angin lalu semata. Demikian halnya dengan hadirnya perempuan dalam sinetron yang sering kali tidak menampilkan kekuatan acting si tokoh, tetapi lebih pada kemolekan dan kecantikan semata. Akibatnya, banyak kaum perempuan yang terbawa arus dalam meniru gaya berpakaian, cara jalan, dan cara berbicara para bintang iklan dan sinetron agar dianggap perempuan modern.
Sebenarnya fenomena semacam itu, perempuan dieksploitasi oleh media massa ataukah perempuan mengeksploitasi diri sendiri demi kepopularitasan semata? Ini merupakan bahan perenungan bagi kita agar lebih sadar diri bahwa tidak akan pernah ada orang yang merendahkan kita bila kita menghargai diri sendiri. Tidak akan pernah ada yang menghormati dan mengakui eksistensi kita bila cara pandang dan pola pikir kita masih pada stretotipe lama bahwa perempuan hanya dapat mengandalakan kemolekan tubuh dan kecantikan wajah.
Malu rasanya bila mengingat sosok perempuan tegar, R.A. Kartini, yang pada masanya sudah tergugah untuk mensyukuri nikmat Allah yang tak ternilai harganya, yakni akal. Ia sudah berpikiran maju untuk belajar dan belajar meski adat dan budaya Jawa pada saat itu merantai dan mengkungkungnya. Kartini sebagai perempuan cerdas pada masanya telah menyadari bahwa perempuan akan diakui eksistensinya sebagai manusia bila ia belajar membaca dan menulis sehingga dapat menyibak tabir kebodohannya. R.A. Kartini mengerti benar bahwa perempuan akan dihargai dan diakui keberadaanya dengan budi pekerti yang tinggi dan kecerdasan/kepandaiannya. Perempuan sekarang seharusnya lebih bersyukur karena kita lebih leluasa untuk mengembangkan diri. Rasanya kita nyaris kembali masa purba karena perempuan hampir tidak malu lagi menampakkan dada, paha, dan pusar di mana-mana. Keindahan tubuh perempuan yang sepatutnya dijaga dan disimpan dengan baik, kini telah dipamerkan dengan leluasa. Padahal, kita sangat primpen menyimpan emas dan permata agar tidak dicuri. Ataukah keindahan tubuh perempuan nilai dan harganya jauh lebih rendah daripada emas dan permata? Biarkan hati nurani kita yang menjawabnya. Hanya saja, tidak terbayangkan bagaimanakah generasi bangsa ini bila perempuan Indonesia masih terpuruk pada bupati (buka paha tinggi-tinggi) dan sekwilda (sekitar wilayah dada) saja.
Berhentilah memperingati Hari Kartini yang diselenggarakan tiap tanggal 21 April bila kita tidak sadar juga akan eksistensi kita sebagai manusia yang telah dikarunia Tuhan akal untuk membaca zaman. Hakikat peringatan Hari Kartini bukan sekedar upacara atau lomba memasak, peragaan busana, atau sejenisnya, tetapi lebih pada melanjutkan perjuangan beliau. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

* Koordinator Litbang PW Fatayat DIY



----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bagaimana Mengelola Uang Anda?
Oleh: Kiromim Baroroh*



Mengelola keuangan dalam keluarga tidak lepas dari masalah konsumsi. Setiap keluarga mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam melakukan konsumsi. Kecenderungan mengonsumsi disebut dengan pola konsumsif. Hal ini terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi, yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam individu tersebut. Faktor ini meliputi pendapatan, motivasi, sikap dan kepribadian, serta selera.
Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka cenderung konsumsinya semakin besar. Semakin rendah pendapatan konsumen, maka semakin rendah konsumsi yang dilakukan. Motivasi konsumsi antara orang yang satu dengan orang lain berbeda. Ada orang yang mengonsumsi karena untuk memenuhi kebutuhan, namun ada pula yang karena ikut-ikutan. Orang yang lain mengonsumsi karena ingin memperlihatkan status sosialnya atau gengsi.
   Sikap dan kepribadian individu juga turut memengaruhi perilaku konsumsinya. Orang yang cenderung boros akan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak direncanakan dan dibutuhkan. Orang yang menyukai lukisan kuno akan membeli lukisan yang sudah kuno dengan harga yang tinggi, sedangkan orang yang tidak menyukai lukisan kuno tidak akan mau membeli walaupun murah. Bahkan diberi secara gratis pun kemungkinan juga tidak bersedia menerima.   Pola konsumsi juga dipengaruhi oleh  selera yang dimiliki individu. Selera setiap orang berbeda-beda.  
Faktor kedua yang mempengaruhi kosumsi adalah faktor ekstern. Faktor ini meliputi kebudayaan, status sosial, dan harga barang atau jasa. Kebudayaan yang ada di suatu daerah berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat daerah tersebut. Misalnya dalam upacara ritual, dibutuhkan barang-barang tertentu. Jenis dan banyaknya barang yang dibutuhkan tentunya disesuaikan dengan upacara adat setempat. Ini tentunya akan memengaruhi tingkat konsumsi.
Status sosial jelas berpengaruh terhadap tingkat konsumsi. Pola makan seorang konglomerat tentu berbeda dengan pola makan tukang becak. Bagi tukang becak cukup makan siang di warung pinggir jalan, namun bagi konglomerat untuk makan siang perlu mencari restoran yang mempunyai suasana yang diinginkan.
Sudah menjadi hukum ekonomi, bila harga naik, konsumsi akan menurun, dan bila harga turun, permintaan akan naik. Ini juga berlaku untuk tingkat harga barang subtitusi. Namun demikian ini tidak berlaku untuk barang kebutuhan pokok. Karena berapa pun harganya kebutuhan pokok pada umumnya konsumen akan selalu membelinya.
Perilaku konsumtif memiliki dua aspek, yakni aspek positif dan aspek negatif. Aspek positif perilaku konsumtif adalah menjamin keberlangsungan siklus ekonomi, kegiatan konsumsi, kegiatan distribusi, dan produksi. Sementara aspek negatif perilaku konsumtif adalah boros, tidak memikirkan masa depan, tidak terpuji, merugikan masa depan, dan sangat berbahaya jika yang melakukannya tidak berpenghasilan lagi.
Lantas, bagaimana agar kita dapat mempunyai pola konsumsi yang rasional? Berikut beberapa tips yang insya Allah dapat membantu "mengerem" dari perilaku konsumtif yang kurang sehat. Pertama, bedakan uang usaha dan pribadi. Kedua, tentukan prioritas kebutuhan. Ketiga, bedakan keinginan dan kebutuhan. Keempat, buatlah rencana kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang.
Mudah bukan? Mulai sekarang jangan membeli barang yang tidak dibutuhkan sekalipun Anda inginkan.

*     PW Fatayat DIY Bidang Sosial dan Ekonomi

Tidak ada komentar: