Sabtu, 17 Desember 2011

Artikel 5


Benarkah Perkawinan Usia Dini Sesuai Syari’ah Islam?
Oleh: Ni'mah Afifah


Potret perempuan sebagai korban kekerasan dalam wacana perkawinan di bawah umur (pernikahan dini) akhir-akhir ini semakin menjadi pembicaraan yang menarik, terutama bagi para pemerhati masalah sosial, termasuk para  agamawan. Hal ini dipicu dengan maraknya pemberitaan kasus pernikahan yang dilakukan oleh   Pujiyono, seorang pengusaha kaya raya, terhadap perempuan muda belia berumur 12 tahun, Lutfiana Ulfa. Kasus pernikahan ini terjadi di Semarang, tepatnya di Desa Bedono Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang , Jawa Tengah. Banyak orang terkejut dan boleh jadi marah atas apa yang di lakukan oleh Puji. Respon masyarakat bertambah keras ketika dengan bangganya Puji berencana menikah kembali dengan dua perempuan yang jauh lebih muda (7 dan 9 tahun). Puji menganggap pernikahannya adalah sah karena menurutnya dia tidak melanggar hukum agama (Islam) bahkan dia beranggapan telah  melaksanakan Sunah Rasul.     
Syari’ah Islam secara tegas menyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan yang kokoh (mitsaqan galida) yang tidak disebandingkan nilainya dengan akad-akad muamalah yang lain. Ikatan perkawinan tidak hanya berpengaruh pada saat transaksi (akad) berlangsung, tetapi berpengaruh secara terus-menerus. Ikatan keluarga menyebar, baik ke samping maupun ke bawah. Dengan asumsi demikian, mustahil Islam yang memegang prinsip tujuan hukumnya adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemadaratan, membuka peluang atau melanggengkan tindakan atas nama hukum Islam, sementara tindakan tersebut sangat berindikasi memudaratkan pihak yang terkait dengan akad nikah tersebut. Mustahil Islam membuka peluang bolehnya seseorang mengikatkan diri pada akad yang sedemikian kuat dan berpengaruh pada generasi mendatang , bila seseorang tersebut belum paham dan belum siap pada konsekwensi berat yang terdapat dalam ikatan perkawinan. Atau dengan kata lain, akad nikah yang dilakukan harus dilakukan dengan penuh kesadaran (tanpa paksaan) dan yang telah memiliki kesiapan yang memadai, termasuk kedewasaan pada umur.
Quran tidak sekali pun menunjukkan bolehnya menikah di usia dini. Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 6 justru menunjukkan dalil tentang anak yatim yang memiliki harta, hendaknya harta mereka dipegang oleh orang yang ahli tanpa mengabaikan hak anak yatim tersebut dalam memperoleh kebutuhannya. Harta anak yatim tersebut baru boleh diberikan sepenuhnya bila ia (anak yatim) tersebut dipandang telah mampu mengelola hartanya. Jika untuk men-tasaruf-kan hartanya saja, yang notabene lebih ringan konsekwensinya saja Allah melarang apalagi mengayuh biduk rumah tangga yang menuntut tanggung jawab yang tidak ringan.
Pujiono berdalih bahwa perkawinannya sah karena Rasul saja menikahi ‘Aisyah ra. pada umur 6 tahun. Bila ditelusuri dengan pendekatan yang lebih integratif dan komperehensif, dapat diketahui bahwa alasan tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan alasan pembenaran melakukan tindakan perkawinan di bawah umur. Pertama, dengan asumsi hadis tersebut dapat dijadikan hujjah. Kedua, kedua jika hadis  tersebut bermasalah dalam sanad matannya. Jika kita berasumsi hadis tersebut tidak bermasalah dalam hal sanad matannya, jalan paling objektif untuk mengkaji hadis tersebut adalah dengan meneliti sebab  pernikahan dan sosiologis budaya Arab saat itu.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan juga Turmudzi, terdapat riwayat bahwa pernikahan Nabi dengan A’isyah berdasarkan perintah Allah melalui wahyu dalam mimpi. Rasulullah mengisahkan mimpi beliau kepada A’syah “Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, ketika itu datang bersamamu Malaikat (Jibril )yang berkata “ini adalah istrimu”, lalu kau singkap tirai yang menyembunyikan wajahmu, lalu aku berkata sesungguhnya hal itu telah ditetapkan di sisi Allah)
Dari hadis shahih tersebut tampak bahwa Nabi Muhammad menikah dengan A’isyah berdasarkan wahyu, bukan berdasarkan hawa nafsu/keinginan beliau pribadi. Juga berdasarkan wahyu itu pula dapat diketahui bahwa mustahil Allah menyiapkan seorang isteri bagi Nabi, bila perempuan yang dipilihkan tersebut tidak memiliki hal yang sangat luar biasa sebagai pendamping Nabi Muhammad. Mustahil tanpa adanya pertimbangan untuk kepentingan yang lebih besar, yakni memberikan waktu yang seluas-luasnya bagi ‘Aisyah untuk membaktikan diri pada Nabi dan umatnya melalui kelebihan yang ada pada dirinya. Dalam catatan sejarah, terbukti ‘Aisyah sangat berbeda dengan perempuan sebayanya. ‘Aisyah dalam catatan perawi haduis, menempati urutan pertama perowi hadis dari pihak perempuan, atau dengan kata lain peran ‘Aisyah sangat signifikan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan umat terkait dengan hal-hal yang hanya bisa diketahui oleh orang terdekat yang serumah dengan Nabi, serta memiliki potensi yang memadai untuk hal tersebut. Selain kepandaiannya dalam mencari, menyerap, dan menyebarkan ilmu yang didapatnya dari Nabi, ‘Aisyah juga terkenal keberaniannya dalam memutuskan suatu perkara besar termasuk berani menjadi panglima perang.
Pengertian baligh pada masa lalu yang terekam dalam kitab-kitab fiqih klasik tidak serta merta dapat diterapkan pada masa sekarang karena adanya kaidah ushul fiqh  Taghayyurul hukmu  bitaghoyyuril azmaan wal amkinah (hukum dimungkinkan untuk berubah seiring dengan perubahan tuntutan zaman dan tempat). Terlebih dengan adanya perkembangan bidang keilmuan dan perkembangan peradaban yang ada menunjukkan bahwa pengertian baligh bagi perempuan  tidak sebatas sudah mengeluarkan darah haid bila dikaitkan sebagai pihak yang akan melakukan akad pernikahan.
Jadi bila produk hukum yang ada sebelumnya dipandang tidak lagi mewujudkan kemaslahatan, bahkan mengindikasikan datangnya kemadaratan, hukum tersebut dimungkinkan bahkan diharuskan untuk mereformasikan dirinya sejalan dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat yang telah berkembang pada saat itu. Dalam konteks ini, nyata bahwa dari pendekatan interdisipliner, perkawinan perempuan di bawah umur lebih rentan pada adanya madarat bagi dirinya dan generasi sesudahnya. Muh Abduh mengharamkan perkawinan perempuan yang di bawah umur, karena terbukti menyengsarakan hidupnya. Bahkan di beberapa Negara Muslim, seperti di Tunisia dan Pakistan, perkawinan yang mengandung unsur pemaksaan wali terhadap anaknya untuk menikah dan calon mempelai di bawah umur akan dikenai denda harta atau dipenjara.
Ketidakrelevan hadis tersebut dijadikan sandaran hukum karena adanya beberapa kejanggalan dalam hadis tersebut. Beberapa  riwayat yang termaktub dalam buku-buku hadis tentang riwayat pernikahan dini yang dilakukan Nabi dengan A’syah, semuanya hanya berasal dari Hisyam bin Urwaih ketika dia pindah ke Iraq pada usia 71 tahun. Padahal perawi seharusnya minimal ada 2 atau 3 orang yang mencatat hadis serupa. Di samping itu, tidak ada seorang pun di Madinah tempat Hisyam tinggal selama 71 tahun, yang menceritakan hal serupa, termasuk Abu Hurairah atau pun Malik bin Anas.
Tahzib al- tahzib, salah satu buku terkenal yang berisi catatan para perawi hadis, menurut Ya’qub ibn Shaibah, Hisham sangat bisa dipercaya (riwayatnya) kecuali apa-apa yang dia ceritakan sesudah ia pindah ke Iraq.(Tahzib al -tahzib, Ibn Hajar Al- Asqalany, Dar Ihya al turath al Islami, 15 th century, vol II, h.50).Turut mendukung dengan pernyataan Ya’qub tersebut, dalam kitab itu juga disebutkan Malik bin Anas pun menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq. Sementara hadis yang diriwayatkan Hisyam tersebut diketahui dari catatan dari orang-orang Iraq.
Selain kitab tersebut, kitab Mi-zan al -i’tidal ( kitab yang berisi uraian riwayat hidup perawi hadis) mengungkapkan fakta bahwa ketika masa tua, ingatan Hisyam bin Urwah mengalami kemunduran yang sangat mencolok  (Mizan al-I’tidal, al-Zahbi, al-Maktabatu al-Ithiriyyah, Sheikhupura, Pakistan, vol 4, h.301)
Jadi, hadis tentang ‘Aisyah yang dinikahi Nabi pada usia dini tersebut bisa dipandang sebagai hadis yang dhoif (lemah) dan tidak bisa dijadikan dasar hukum. Perkawinan di usia dini tidak mendatangkan kebaikan, justru mendatangkan kemadaratan dan melanggar prinsip pokok hukum Islam.
Sebagaimana diketahui prinsip pokok hukum Islam yakni melindungi lima (5) hal yang pokok, yakni hifd ad-din (melindungi agama), an-nafs (melindungi jiwa), hifd al-nasl/ird( melindungi keturunan dan kehormatan), hifd al-mal (melindungi harta) dan  hifd al-aql (melindungi akal fikiran).
Dengan pendekatan interdisipler ilmu, atau dengan melakukan pendekatan tematik, komperehensif, dan integratif, perkawinan di bawah umur terbukti mengancam kesejahteraan perempuan dalam menjaga lima hal tersebut. Dari segi nafs misalnya, para geneolog dan ahli medis sudah melarang keras perkawinan di bawah umur karena akan berpotensi  kanker mulut rahim. Hal ini dibuktikan bahwa tingginya angka kematian ibu melahirkan dan buruknya kondisi anak yang dilahirkan di negara berkembang sangat terkait dengan adanya budaya menikah pada usia dini.
Psikologi perkembanagan juga menunjukkan bahwa sangatlah kejam merenggut masa kanak-kanak dan remaja yang ceria, yang masih perlu bimbingan dengan pembebanan sebagai seorang isteri dan ibu yang tentu sangatlah berat dan kompleks komitmen dan tanggungjawabnya. Selain itu juga dari perlindungan nasl (keturunan) perkawinan di bawah umur juga menginvestasikan calon generasi yang lemah, karena kekurangsiapan orangtuanya, baik secara biologis maupun psikologis. Mereka sangat rentan terhadap tindak kekerasan baik secara fisik, seksual, psikologis, sosial, dan ekonomi.
Berdasarkan uraian di atas, sangat patut kita renungkan, adakah kita akan melanggengkan suatu tindakan yang bertopengkan agama, padahal tindakan tersebut jelas-jelas memberikan madarat bagi manusia? Jadi, sesuai dengan yang telah diatur dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, sebagai UU yang mengadopsi juaga hukum Islam, pernikahan hendaknya dilakukan oleh perempuan yang berusia minimal 16 tahun dan laki-laki minimal usia 19 tahun. Tidak menutup kemungkinan, bila tuntutan zaman berbeda, batas usia ini pun akan diperbaharui, sebagaimana tuntutan para aktivis perempuan, bahwa masa kesiapan mental dan biologis perempuan untuk menikah minimal adalah usia 21 tahun. Wallahu a’lam bi showwab.

(Litbang PW Fatayat DIY)

Tidak ada komentar: