Sabtu, 17 Desember 2011

Artikel 4


Perempuan dan Kemerdekaan
.Oleh: Ening Herniti*


        Agustus tahun ini, Indonesia genap berusia 66 tahun. Jika diibaratkan usia manusia, usia ini adalah usia kematangan. Usia yang menuntun kita pada renungan dan evaluasi diri. Sudahkan kita merdeka dalam makna yang sesungguhnya? Sebuah pertanyaan yang mudah dijawab, tetapi sangat susah merealisasikannya.
Kemerdekaan bukan sekadar terlepas dari belenggu penjajah, tetapi lebih dari itu juga mengupayakan pemenuhan hak-hak asasi mereka. Hak asasi itu menyangkut jaminan keamanan, pembebasan dari segala belenggu penjajahan dan diskriminasi atas dasar apa pun, termasuk jenis kelamin. Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan yang bisa menjamin hak asasi individu dan memandang setara seluruh warga. Kemerdekaan bukanlah sebatas bebas dari (freedom from) penjajahan bangsa lain. Kemerdekaan adalah sebuah situasi yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk (freedom for) mengaktualisasikan segala potensi dan kemampuannya dengan rasa aman serta bebas dari segala ancaman dan teror. Kemerdekaan itu terbebas dari nilai-nilai keniscayaan, nilai-nilai pelecehan, kekerasan, intimidasi, dan diskriminasi.
Perjuangan kemerdekaan telah dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia. Baik laki-laki maupun perempuan, telah bersatu padu untuk memperjuangkan kemerdekaan. Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas pentas sejarah tiak diragukan lagi, baik berupa gagasan, pemikiran, maupun realitas perjuangan. Jauh sebelum kemerdekaan perjuangan perempuan itu telah dimulai. Organisasi-organisasi perempuan juga telah berdiri seperti Muslimat NU. Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, dan Christina Martha Tiahahu adalah di antara perempuan yang telah berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan badan yang dipercayai untuk merumuskan kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI juga telah melibatkan perempuan di dalamnya, meskipun prosentasinya sangat kecil. Dari sekitar 60-an anggota BPUPKI, hanya ada dua perempuan yang masuk, yaitu Maria Ulfa Santoso dan Ny. R. S. S. Soenarjo Mangoenpoespito.
Kesadaran perempuan untuk melawan segala penjajahan dan penindasan di Indonesia telah muncul sejak lama. R. A. Kartini (1879-1904) adalah pelopor perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Sepeninggal Kartini pada tahun 1912 atas prakarsa Tuan dan Nyonya C. T. van Deventer, digerakkanlah dana Kartini untuk pendirian sekolah-sekolah. Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang pada tahun 1904 mendirikan Sekolah Keutamaan Isteri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe.
Keadaan perempuan masa kini, berkat inspirasi dari R. A. Kartini, telah banyak mendorong perempuan Indonesia untuk mencapai pendidikan tinggi. Perempuan telah mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bersekolah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah murid perempuan dan laki-laki seimbang pada tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah lanjutan pertama (SLTP). Akan tetapi jumlah perempuan makin berkurang seiring dengan meningkatnya jenjang sekolah. Hal ini disebabkan oleh masih adanya diskriminasi dalam keluarga terhadap anak perempuan untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini terkait pada masih kuatnya budaya patriarki yang menganggap bahwa setinggi-tinggi perempuan bersekolah, akhirnya akan masuk dapur juga. Dengan adanya diskriminasi terhadap anak perempuan untuk bersekolah, maka persentase anak perempuan yang mencapai pendidikan minimal (Wajar 9 tahun) jauh lebih rendah dari anak laki-laki. Demikian juga jumlah buta huruf perempuan pada umur 15-45 tahun jumlahnya 2-3 kali lebih banyak dari laki-laki. Rendahnya pendidikan perempuan berakibat pada usaha untuk mencari nafkah dan pemeliharaan kesehatan individu dan keluarganya. Semua ini mengakibatkan rendahnya kualitas hidup perempuan (KHP).
Perjuangan perempuan yang dapat kita lihat hasilnya saat ini adalah UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU 2/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sampai saat ini organisasi Islam perempuan, termasuk LSM-LSM, juga masih gencar ingin merevisi atau menyempurnakan UU perkawinan yang dulu diperjuangkan oleh mereka.
Diskriminasi terhadap perempuan setelah kemerdekaan 66 tahun ini tidak hanya terjadi pada kesempatan bersekolah bagi anak perempuan, melainkan masih pula terjadi pada dunia pekerjaan, untuk peningkatan karier dan dalam dunia politik praktis. Kita mengetahui bahwa prestasi anak perempuan pada semua tingkat pendidikan (mulai SD sampai universitas) selalu menduduki peringkat yang tertinggi. Meskipun penelitian mengenai hal ini belum dilakukan, akan tetapi berdasarkan pengalaman, dari 10 peringkat tertinggi dari tiap jenjang pendidikan, ternyata 60%-70% adalah murid atau mahasiswa perempuan. Perempuan juga sudah mampu mencapai pendidikan tertinggi, seperti S1, S2, dan S3. Tenaga pengajar perempuan bergelar guru besar juga telah semakin meningkat. Lebih dari itu, perempuan masa kini sudah mampu melaksanakan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap sebagai tugas laki-laki seperti pilot, sopir bus, satpam, insinyur perminyakan, insinyur mesin, insinyur tambang, dan lain-lain.
Menurut Meutia Hatta Swasono, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, bahwa diskriminasi terhadap perempuan juga masih terjadi di Indonesia, keadaan ini ditandai oleh:
1.   Tradisi yang mewajibkan perempuan mengurus urusan rumah tangga, atau tradisi yang melarang perempuan mengemukakan pendapat dalam kondisi apa pun.
2.  Dalam bidang pendidikan, meskipun kesempatan sudah sangat terbuka bagi perempuan untuk sekolah setinggi-tingginya, namun bila biaya pendidikan dalam keluarga terbatas, anak perempuan harus mengalah kepada anak laki-laki. Bila beasiswa didapat oleh seorang perempuan bersuami, maka izin dari suami mutlak didapatkan oleh sang isteri. Demikian pula, ketika seorang perempuan sudah menikah dan mempunyai anak, pendidikan pun biasanya dihentikan demi kepentingan keluarga.
3.    Dalam bidang ekonomi, menurut survei terakhir, pendapatan perempuan biasanya hanya 60% dari pendapatan pria untuk waktu kerja dan posisi yang sama, ditambah kesalahan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mendata pelaku ekonomi di sebuah keluarga. Bila seorang isteri berusaha di rumah seperti membuat kue atau pisang goreng untuk dijual, biasanya BPS hanya mendata isteri tersebut sebagai ibu rumah tangga sehingga secara statistik, perempuan sedikit sekali berperan dalam sektor ekonomi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
4.     Dalam peningkatan karier atau dalam penentuan kenaikan jabatan, meskipun perempuan mempunyai prestasi yang baik di sekolah atau dalam pekerjaan, perempuan selalu dikalahkan dengan alasan yang sangat bias gender.
5.       Partisipasi politik perempuan di Indonesia hanya 11% di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan 22% di DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
6.    Dalam bidang kesehatan, angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Indonesia sangat tinggi karena gizi yang buruk, anemia, dan aborsi. Aborsi pun banyak dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di Indonesia karena sudah terlalu banyak anak. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian masyarakat, keluarga, dan para pejabat terhadap usaha pemberdayaan perempuan.
Ketertinggalan kaum perempuan ternyata menjadi permasalahan yang tidak saja merugikan perempuan itu sendiri, tetapi juga merugikan pembangunan nasional/daerah secara keseluruhan. Jumlah penduduk perempuan hampir sama dengan penduduk laki-laki. Oleh karena itu, peran perempuan sangat berarti. Lebih lanjut, Meutia Hatta Swasono menegaskan bahwa lambatnya pembangunan Indonesia selama ini karena kaum perempuan kurang berperan atau tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan, baik nasional maupun daerah. Nah, apakah perempuan sudah merdeka dan menikmati kemerdekaan dalam makna yang sebenarnya? Wallahu a’lam bi ash-shawab.

*Koordinator Litbang PW Fatayat NU DIY

Tidak ada komentar: