Sabtu, 17 Desember 2011

Artikel 6


Bangkit dan Bersatulah
Oleh: Ni'mah Afifah*

H.M. Nasruddin Anshory mengungkapkan bahwa sekalipun telah 62 tahun Indonesia merdeka, sesungguhnya beberapa segmen masyarakat Indonesia saja yang merasakan adanya keindahan kemerdekaan, melalui kemudahan dalam menerima akses-akses kehidupan. Sementara mayoritas bangsa ini masih berada di bawah tekanan demi tekanan yang membuat kualitas kehidupan mereka berada di bawah standar kelayakan sebagai sebuah bangsa yang terkenal melimpah sumber daya alamnya. Keterpurukan tersebut menurut Nasruddin berakar dari beberapa faktor, antara lain adalah rapuhnya ikatan (sense)  antarmasyarakat sebagai satu bangsa. Padahal bila menenngok sejarah kemerdekaan Indonesia, kita sudah diberi teladan mulia bagaimanan para pecinta tanah air ini rela berkorban apa saja, tidak hanya untuk dirinya pribadi, keluarganya ataupun kelompoknya. Perjuangan para pejuang kemerdekaan tersebut didasarkan pada kecintaan pada bangsanya, yakni yang terdiri dari tanah air serta masyarakat yang mendiaminya. Fenomena yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini semakin menunjukkan lemahnya sense sebagai satu bangsa tersebut. Kekuatan ekonomi, politik, dan semacamnya lebih berorientasi pada kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya. Jargon-jargon untuk kepentingan bangsa hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka pribadi.
Senada dengan yang disampaikan HM Nasruddin di atas,  Prof. Dr. Wuryadi juga menyayangkan adanya salah orientasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah pada masa kini. Pemberlakuan sistem ujian akhir nasional (UAN) yang menuntut adanya standardisasi kelayakan lulus yang ditentukan oleh BNSP, dinilai tidak arif jika dipandang dari kerangka orientasi kebangsaan. Sistem kompetisi yang dibatasi pada nilai-nilai mata pelajaran (mapel) tertentu menurut beliau sudah menyimpang dari nilai tradisi bangsa Indonesia yang tidak menuhankan kompetisi untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan bangsa menilik sejarah yang ada, menurut beliau tidak didasarkan pada kompetisi baik antarsuku, golongan, atau masyarakat tertentu, tetapi didasarkan pada rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan semangat bersinergi satu sama lain. Bangsa Indonesia harusnya bangga karena dalam catatan sejarah tidak hanya mampu membangun sebuah negara, tetapi sebuah bangsa. Banyak negara yang merasa iri akan hal tersebut, seperti negara Malaysia yang memiliki negara tetapi masih belum bisa membentuk masyarakat yang tinggal di Malaysia sebagai bangsa Malaysia sebagaimana di Indonesia.
Dalam konteks pendidikan, sistem kompetisi instan tersebut akan memberi dampak buruk pada psikologi anak dan dunia pendidikan pada umumnya. Secara psikologis, anak yang dibiasakan berkompetisi akan selalu merasakan ketidaknyamanan/ketakutan (insecure), baik yang belum pernah jadi juara apalagi yang sudah menjadi juara. Kompetisi tersebut akan mengikis rasa kebersamaan sebagai sebuah tim, baik dari tingkat bawah ( kecil) maupun tingkat atas (lebih besar), sebagai sebuah bangsa. Penghargaan kualitas orang pun akan menjadi picik, karena digiring ke sebuah pemahaman bahwa yang dinilai sukes pendidikannya terstandardisasi pada keluluan beberapa mapel tertentu. Dalam kenyatannya, realitas di lapangan menunjukkan tingginya tingkat stres anak didik terhadap penentuan hasil UAN dan munculnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam upaya menghindari stigma anak didiknya bodoh karena tidak lulus UAN tersebut. Lebih lanjut beliau menyampaikan adanya ketidakkonsistenan kebijakan pendidikan yang lain, misalnya akan diberlakukannya UAN untuk anak SD. Menurut beliau hal tersebut menyimpang dari kebijakan pemerintah yang lain, yakni pendidikan dasar kini sampai tingkat SMP. Jadi, andainya pun diberlakukan UAN untuk pendidikan dasar, minimal harus pada tingkat ujian akhir SMP. Prof. Dr Wuryadi mengusulkan untuk kembali mengorientasikan pendidikan di Indonesia pada nilai kebangsaan yang terekam dalam karakter budaya bangsa. Salah satunya adalah membudayakan motivasi belajar adalah karena senang belajar bersama-sama (society) atau karena keinginan tahu ( curiosity) bukan karena didasarkan pada motivasi ingin menjadi juara( achiever) terlebih karena didasarkan pada adanya perintah dari pihak luar.( instruction)   
Prof. Dr Arya, pakar politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, dan Sekwilda DIY memperkuat perlunya reorientasi kebangsaan untuk bidang politik. Perpolitikan di Indonesia harus berorientasikan dibaktikan untuk seluruh bangsa, bukan untuk golongan/kelompok tertentu. Adanya kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah merupakan salah satu aplikasi dari adanya kewenangan yang bertanggungjawab dari tiap daerah kepada bangsanya. Sekalipun memiliki misi yang positif, dalam pelaksanaannya harus terus dikontrol, baik oleh lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri. Salah satu bentuk kontrolnya adalah terhindarnya pemerintah daerah dalam menjual aset-aset daerah kepada pihak asing tanpa pertimbangan kepentingan bangsa, semisal penjualan pulau.
Berbagai fenomena keterpurukan nasib bangsa Indonsia baik di bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor mendasarnya adalah kurangnya semangat kebangsaan dan cinta atau melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang luhur. Semangat membela nilai budaya bangsa tidak hanya terhenti pada semangat membela klaim-klaim produk budaya bangsa yang hendak diklaim negara lain. Budaya bangsa dalam konteks ini lebih menekankan pada sisi nilai-nilai yang terangkum dalam pola pikir bangsa Indonsia dalam keseharian, seperti berjuang untuk kepentingan anak cucu bangsa ini, bukan semangat berkompetisi untuk bisa mengalahkan atau tak acuh terhadap kepentingan kelompok di luarnya.

*Litbang PW Fatayat DIY

Tidak ada komentar: