Sarasehan
Sastrawan Perempuan
“Pengarusutamaan
Gender dalam Karya Sastra"
Acara yang diselenggarakan oleh Devisi Sosial, Seni dan Budaya PW. Fatayat NU DIY pada Minggu 17 Maret 2013 lalu mampu menggugah semangat menulis bagi para peserta. Di Pendopo LKiS ini acara sarasehan berlangsung menarik dan seru. Mb' Abidah pun terlihat bersemangat dalam mengisi acara tersebut. Ia pun banyak bercerita tentang kisahnya selama pembuatan Novel "Perempuan Berkalung Sorban", proses difilm-kannya sampai bagaimana reaksi masyarakat dalam menanggapi kontroversi yang ada pada Film tersebut.
Begitu pun dengan Mb' Ismaa Kazee, dia menjelaskan bahwa penulis perempuan yang mengangkat tema pengarusutamaan gender masih sangat minim, kita harus menciptakan regenerasi untuk penulis perempuan. mb' Ulfatin CH juga menjelaskan akan kekuatan syair itu sangat dasyat merubah pola pikir masyarakat.
untuk lebih jelasnya simak notulensi dari kami, semoga bermanfaat:
Abidah El-Khaliqy:
Terima kasih untuk kedatangan dan kesabaran
teman-teman serta molornya juga J. Saya yakin
semua sudah baca makna wal’ashri, ini
luar biasa. Calon sastrawan memang harus begini J
Di Majenang ada Ponpes Miftahul Huda,
dipimpin oleh mantan Dirjen haji Kemenag Pusat, Bpk KH Slamet Riyanto. Saya
ditodong memberikan setetes ilmu kepada para wakil santri, kyai, bu nyai yang
ada di situ. Karena acaranya mendadak, saya bicara apa saja yang penting
bagaimana mereka tahu dari yang sedikit
itu. Acara itu begitu penuh dan padat. Dalam perjalanan itu saya disms
Azzah, “mbak jangan lupa besok acara Sarasehan ya”. Saya bilang: “saya siap”,
padahal belum saat itu. Tapi sekarang saya sudah siap.
Setahu saya kata “pengarusutamaan”
itu dari kata “Mainstream”, berarti pemainstreaman
gender dalam karya sastra. Saya pikir ini berhubungan dengan novel “Perempuan
Berkalung Sorban”. Kalau saya harus membicarakan novel itu dari A sampe Z kita
akan ketemu dengan tema ini dengan sempurna.
Pagi ini akan saya ceritakan novel
ini, latarnya, dibikinnya seperti apa, proses dibuat film seperti apa lalu ada
kontroversi.
Gagasan awalnya adalah dari Yayasan
Kesejahteraan Fatayat (YKF) DIY. Kami bergabung di situ dan menggagas sebuah
media pemberdayaan perempuan melalui novel, maka ditulislah novel ini. Jadi ide
awalnya dari YKF karena mereka punya program pemberdayaan perempuan. Saya bukan
dari YKF. Saya dipanggil untuk hadir, kemudian kami sepakat. Saya lihat apa
yang akan dilakukan YKF itu bukan hanya bagus tapi juga mulia.
Novel ini kan isinya kampanye tentang
hak reproduksi perempuan, seputar fiqhunnisa.
Pengetahuan kita tentang kesehatan reproduksi adalah ketika kita hamil,
menyusui, hanya sampai di situ. Padahal ternyata ketika kita ingin mengetahui
lebih jauh tentang reproduksi ini di sana ada hak-hak perempuan. Dalam fiqhunnisa sudah diatur bahkan sudah diratifikasi
oleh PBB, namum belum tersosialisasi. Ternyata di situ saya tahu hak reproduksi
peremouan itu menyangkut seluruh daur kehidupan peremouan dari mulai lahir sampai
ke liang lahat. Seperti belajar dari lahir sampai mati minal mahdi ilallahdi. Mulai aqiqah, laki-laki 2 kambing perempuan
hanya satu. Ketika perempuan mens ada hak reproduksi yang perlu diberikan oleh
masyarakat. Kita sendiri sebagai perempuan belum tahu. Inilah yang ingin
disampaikan oleh novel ini.
Karena ini karya fiksi maka aturannya
juga fiksi. Kira-kira tema seperti ini ada kesamaan dengan karya saya. Atas
alasan inilah YKF memilih saya untuk nulis itu. Kita adakan kolaborasi. Ide ini
adalah ide besar dan saya belum pernah mendapati di Indonesia
ini satu lembaga atau yayasan
yang menggagas ide pemberdayaan perempuan melalui novel.
Ini adalah ide yang sangat luar biasa
karena melalui novel jangkauan nya semua level, anak-anak sampai
orang dewasa, dan tidak terikat waktu, bisa sampai kapanpun. Selain dibaca
oleh orang Indonesia, ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain
juga akan dibaca oleh lebih
banyak orang lagi di luar Indonesia. Bedanya menulis
buku dengan menjadi pembicara adalah kalau pembicara idenya hanya terbatas
didengar oleh audiens yang hadir pada saat itu, tapi kalau buku ia bisa dibaca di
segala tempat dan di segala waktu. Selain itu jika buku
diterbitkan ulang maka akan dibaca oleh generasi mendatang dan seterusnya. Itulah
kekuatan sebuah buku. Begitu luas jangkauannya, beda
dengan mubaligh atau orator ataupun pembicara.
Novel “Perempuan
Berkalung Sorban” pertama kali dicetak (tahun 2001)
sebanyak 3000
eksemplar dan tidak dijual
di toko, karena penerbitan novel ini
didanai oleh Ford Foundation,dan dibagikan kepada pondok pesantren, LSM, perguruan tinggi-perguruan
tinggi di
seluruh Indonesia. Apa yang terjadi kemudian, entah siapa
yang berbuat nakal, buku ini tiba-tiba ada dii toko
buku. Kalau sang penerbitnya sama, kenapa saya
selaku penulis tidak tahu, tidak ada perjanjian dan saya tidak dapat
royalti, entah kenapa.
Dari buku yang beredar di toko buku lalu terbeli
oleh produser Starvision, Chand Parwez
Servia, salah satu raja film. Ketika dia baca novel ini, dia pikir “sangat filemis”. Pertama
dilihat dari alur ceritanya, bukan isinya. Isi
adalah yang kedua atau ketiga. Lalu Parwez ingin tahu
siapa penulisnya dan kemudian mengontak penerbit, dan
penerbit kontak saya. Lalu terjadilah deal tahun pada tahun 2002.
Kenapa film ini baru muncul tahun 2009?
Karena menurut sang produser ternyata novel ini isinya
berat dan suatu hal yang substansial, revolusi pemikiran, sesuatu yang melawan
arus, sangat berat dan idealis untuk dijadikan sebagai film. Dia
kemudian mencari penulis skenario dan sutradara. Parwez diskusi
dengan banyak sutradara dan penulis skenario, diantaranya sutradara kawakan Chaerul
Umam yang menyutradarai film “Titian Serambut
Dibelah Tujuh” . Sebuah
fim yang kontroversial
juga karena ia bercerita tantang “mairil”, homoseks
di pondok pesantren. Tetapi
kasus homo di pondok pesantren tidak persis seperti homoseks pada umumnya, tapi ada kemiripan. Kalau terjadi di
luar itu yang dikutuk oleh Tuhan, tapi yang di pondok
pesantren tidak
sejauh itu.
Saya sudah ketemu muka dengan Chaerul Umam, akhirnya gagal juga, 3 kali gagal (skenario
dan sutradara). Ketika pada tahun 2009 ada film “Ayat-ayat Cinta”
yang juga film religi,
setiingnya pondok pesantren, Timur Tengah, pemainnya
dijilbabi, kok sukses. Ketika Parwez lihat
film ini sukses, barulah ia berani
menggarap film seperti Ayat-ayat Cinta yang disutradarai oleh Hanung
Bramantyo. Maka
Hanung pun menjadi
sutradara film “Perempuan Berkalung Sorban”.
Film ini digarap selama satu tahun.
Skenario dikerjakan sebanyak 13 draft,
setiap draft dikasih ke saya dulu lalu diminta masukan
dan revisi. Pada draft ke 13 ini baru oke. Semua itu kita
diskusikan.
Ketika film ini baru selesai diedit
di Bangkok, yang pertama
nonton kan saya sebagai penulis, ternyata
yang saya lihat jauh sekali dari skenario yang dikirim ke saya. Di lapangan
sutradara telah melakukan penambahan dan pengurangan.
Terjadi distorsi sedemikan rupa, sehingga memicu kontroversi,
meski di Indonesia ketika itu film yang bisa tayang sudah mengalami
4 kali sensor BSF (Badan Sensor Film). Di BSF ini ada 4 orang
dari MUI yang ikut menyensor dan mereka sudah melakukan
editan, akhirnya film ini lolos sensor, dan yang
lolos inilah yang masuk Bioskop “21”.
Meski sudah lolos
sensor, film ini masih
menimbulkan kontroversi. Yang menyerang pertama
juga dari MUI. Seminggu setelah diserang, para awak
wartawan menyerbu saya baik dari media nasional maupun internasional,
ada yang lewat telp, wawancara, di radio
(Netherland & Amerika),
mereka mau tahu seperti apa film itu.
Fase berikutnya apa yang saya alami adalah mendapat
undangan talkshow, baik tentang buku maupun tentang film,
dari Sabang sampai Merauke, dari
ma’had, pondok pesantren sampai dari luar negeri (Hongkong, Singapura dan Malaysia).
Saya juga melakukan roadshow di Jatim (Surabaya,
Jombang, Jember),
selama satu minggu.
Satu kali di Jatim saya dibantai
habis-habisan oleh pak Kyai (tak perlu sebutkan
pesantrennya) di hadapan 600 mahasiswa/santrinya (pesantren
tersebut mempunya perguruan tingginya). Pak kyai bilang: “mbak
Abidah sudah berani masuk ke sarang macan, maka akan dikuliti dan pulang
tinggal nama”. Walah pak Kyai, sama dengan Ryan dong
(memutilasi), pikir saya. Lalu pak Kyai ini melanjutkan “Saya ini
seorang mufassir, hal pertama yang
saya benci adalah apa yang saya sebut dengan novel!”. Hal itu dia sampaikan sambil melempar novel dan mengenai
minumannya sendiri, saking marahnya tangannya sampai keram.
Acara itu
agak ricuh, padahal diliput oleh 6
mass media, lokal dan nasional. Mungkin pak
Kyai ini belum
membaca tuntas novelnya, tetappi mencari apa yang jelek dari
buku ini. Dan yang dia cari ketemu yaitu ada tulisan Ford Foundation-nya. Dia bilang karena novel ini didanai oleh FF maka ia liberal. Karena liberal, maka komunis, karena komunias maka
Khonghucu!. Novel ini dibanting lagi sampai air minumnya
pak Kyai tumpah lagi. Kemudain pak
Kyai ini lama gak
bisa ngomong saking marahnya dengan saya.
Sebelumnya saya sudah diteror
dua kali ketika datang ke pesantren karena novel ini
dianggap menghujat kyai, dan menghujat Islam. Dia
mencari mana yang bisa dikritisi. Ada yang bilang: “ini
apa? buku ini katanya hebat tapi kok di sini
perempuan boleh pacaran dengan laki-laki?.
Saya bilang ke pak Kyai (yang pegawai Depag), bahwa novel ini
bukan buku fiqh. Menurutnya namanya buku best seller itu harusnya begini, begini.
Lalui saya bilang: “Pak Kyai, buku ini novel, bukan fiqh apalagi
kitab suci, ini bukan kitab riyadushshalihin.
Ini adalah karya fiksi yang diambil dari
realitas kehidupan sehari-hari, tapi ada visi dan misi yang ingin dicapai.
Hidup ini tidak hanya hitam putih. Bahkan dalam kitab suci saja
ada kisah Abu Jahal, Firaun. Semua
perempuan di dunia ini, termasuk anak pak Kyai
aja saya tidak yakin tidak pacaran”. Tapi dia
tidak mau terima dan tetap marah, mencaci
maki buku ini yang tidak ada juntrungnya. Saya ingin menohok
tapi kasihan, takut kramnya kumat.
Lalu saya
kembalikan kepada para santri, mereka malah bijak karena ketika
pak Kyai marahin saya para santri berteriak “huuu huuuuu”. Lalu pak Kyai bilang:
“sabar toh,
ini baru koma, belum selesai! Kalian itu tahu kan innallaha ma’asshabirin?”.
Tiba-tiba pak Kyai merasa salah,
maju kena mundur kena. Pak Kyai ini menganggap
novel ini sesat, karena perempuan “palwarid”.
Novel ini perjalanannya panjang sekali. Sepanjang saya talkshow di perguruan-perguruan
tinggi hampir 90 persen responnya positif karena murni perspektif sastra,
kalaupun ada perspektif feminisnya hampir 95 persen positif dan kalau di
komunitas, di majlis ta’lim bahkan ketika ke Hongkong yang undang adalah bapak
konsulat. Di sana
saya dipertemukan dengan puluhan ribu pahlawan devisa negara (TKI). Ternyata
mereka luar biasa. Mahasiswa Indonesia yang ada di
Hongkong begitu antusiasnya, luar biasa.
Saya alami pengalaman yang tidak enak malah dari pak
Kyai, bukan santrinya.
Perjalanan dari seluruh talkshow itu saya
lihat intinya ada missunderstanding, miskomunikasi, misinterpretasi dari pak Kyai
(tidak semua tentu saja). Kalau lihat di google, ketik Perempuan Berkalung Sorban
maka ada 3 juta entry pembahasan tema ini, 99,9 persennya positif dan
kebanyakan dari perempuan, misalnya “mbak Abidah aku ada di belakangmu!”.
Adalah oknum dari
MUI yang pertama melontarkan kontroversi. Kontroversi
ini ada sisi postifnya dan negatifnya (dimarah-marahin).
Positifnya buku ini gak ada masalah. Pas acara
launching novel, YKF mengundang
sekitar 100 Kyai muda NU, mereka lulusan timur tengah semua (Al-Azhar Mesir, Libya)
dan mereka sudah membaca. Setelah saya paparkan mereka berpendapat
ini harus diteruskan. Ada masukan soal istilah-istilah
bahasa Arab, jadi masalah teknis bukan isi/substansinya.
Bisa kita simpulkan dari cetak
tahun 2001 sampai difilmkan tahun 2009,
tidak ada polemik tentang novel ini. Sepanjang tahun ini tidak terjadi
apa-apa. Baru setelah film itu muncul ternyata jadi
kontroversi.
Kontroversi pertama dilontarkan ibu
Fitriani, istri dari oknum MUI. Dia menulis di
Republika mengkritisi bahwa tokoh perempuan di
film itu selalu membawa buku Pramudya
Ananta Toer. Bagi kita tidak ada masalah,
tapi bagi para kyai Pramudya itu PKI. Bagi sastrawan
muda kalau bicara Pram adalah bentuk protes kita terhadap Orde Baru, ya karena yang mem-PKI-kan
pram adalah Orde Baru. Kita kurang apresiasi terhadap karya Pram karena sitgmatisasi Orde Baru.
Di luar negeri Pram sangat diapresiasi. Pak Taufik Ismail, yang saya anggap ayah
angkat, bilang: “Kenapa buku Pram yang dibawa-bawa, bukan bukunya Hamka?”. Lalu
saya jelaskan bahwa di novel itu tidak ada, itu adalah tambahan
dari sutradara.
Sutradara tahu apa yang akan bikin
kontroversi, maka dicantumkanlah buku Pram ini.
Sutradara memang sengaja merekayasa supaya film ini controversial untuk meningkatkan penjualan. Hanung di salah satu wawancara bilang bahwa film ini
akan menuai kontroversi. Saya bingung, salah saya di mana?.
Saya yang dicaci maki, produser yang untung.
Tapi Allah punya rencana lain.
Seminggu sebelum launching film, produser
bilang “mbak kenapa buku ini tidak dicetak ulang?
Saya siap membantu penjualannya”. Ya sudah, begitu
film ini muncul, maka buku ini
tiap 2 hari dicetak ulang!. Jadi
Allah punya rencana lain. Saya sudah dapat hinaan, tangisan, ternyata buku ini
dicetak ulang tiap 2 hari. Di Jakarta
orang-orang dari bank berjejer ke penerbit ingin mendanai
buku ini, sampai penerbitnya bingung,
yang mana yang mau dipakai. Dicetak seperti itu selama 2 bulan. Begitu mereda film, mereda pula
bukunya.
Nah, ganti saya yang talkshow
selama 1 tahun, tentang buku maupun tentang filmnya.
Kalau di kampus-kampus lebih mantap langkah saya, tapi kalau yang
manggil pak Kyai walah
luar biasa. Dari pengalaman ini saya pikir mass media
menganaktirikan saya, diperlakukan tidak adil karena saya tidak punya hak
jawab. Ketika ada ide,
anda senang dan ketika ide anda dibaca
orang lain maka membuat orang lain senang juga dan
membuka pikiran mereka.
Dari talkshow itu saya lalu nulis dengan meramu
dari semua hak jawab saya dalam dibingkai sastra. Nanti alurnya di seputar
acara keliling talkshow, judulnya “Mata Raisa”.
Setiap saya nulis novel nama-namanya punya makna, dan
alurnya saya sesuaikan dengan makna tokoh-tokoh itu. Kalau di Perempuan Berkalung Sorban tokohnya
namanya Annisa, sosok perempuan yang androgin, ingin
menunjukkan bahwa
seluruh manusia itu androgin. Sorban
itu kan simbol. Sorban yang biasa dipakai ulama laki-laki dan menjadi simbol
kemuliaan yang memakainya ingin saya lekatkan kepada perempuan. Semua
manusia itu androgin yaitu makhluk
yang punya kualitas maskulin dan juga feminin. Sama
seperti Al-Khalik sebagai pencipta,
al Lathif, ar Rahman, ar Rahim, tetapi
juga al Qahhar, al Qadir. Sebetulnya
Khalik maupun makhluk sama-sama androgin. Novel “Mata Raisa”
ini merupakan novel ungkapan saya dalam perjalanan dengan novel Perempuan Berkalung Sorban dulu.
Bahasa “Perempuan Berkalung Sorban” itu
sebenarnya bukan Abidah banget. Karena tulisannya adalah berbahasa lugas bukan
seperti penyair. Novel “Mahabbah Rindu”,
novel saya yang ke-3, juga akan di
filmkan. Bahasa “Mahabbah Rindu”
sangat sastrawi. Sudah memperoleh 3 award,
salah satunya “Anugrah Sastra”
dari Kemendiknas. Novel “Mata Raisa”
adalah novel terbaru, sudah cetak 5000 eks tapi sudah
habis dalam waktu hanya lima bulan. Novel ini juga mengisahkan isu-isu tentang
perempuan.
Ulfatin Ch:
Terima kasih sudah
diundang oleh Fatayat karena selama ini belum pernah dengan
Fatayat, baru dengan PMII.
Dalam karya sastra, saya lebih sering menulis
puisi, jadi
lebih tepatnya saya itu penyair. Karya-karya saya di antaranya
Konser Sunyi
(1995) dan Selembar Daun Jati (1996). Puisi-puisi saya juga terdapat dalam berbagai antologi
bersama antara lain Kafilah Angin (1990), Sembilu (1991), Risang Pawestri
(1992), Delapan Penyair (1992), Sastrawan Angkatan 2000 (2000).
Karya sastra sangat memberikan
pencerahan. Dari dulu masalah perempuan selalu diusung oleh
pengarang. Mungkin yang fundamental saat
mbak Abidah menulis novel
Perempuan Berkalung Sorban. Kok bisa ya jadi kontroversi, karena
sebelum difilmkan saya sudah baca. Kemungkinan karena
banyak menohok kyai. Itu tidak hanya terjadi pada lingkungan pesantren
saja tapi juga di luar pesantren, perempuan harus begini
harus begitu.
Perempuan Berkalung Sorban
itu menurut saya halus-halus aja. Coba kalau kita lihat karya Jenar Maesa Ayu, wah itu kasar
banget, pasti pak kyai marah sekali. Cerpen juga banyak
yang mengusung tentang perempuan. Puisi dari dulu
juga banyak yang mengusung tentang perempuan, mulai dari
RA Kartini, Nur Syamsu,
Tuti Herati. Cuma puisi lebih tidak/kurang tampak. Kalau dalam
novel kelihatan perjuangan perempuan karena ada alurnya, kalau dalam puisi
hanya selintas. Seperti dalam karya Nur Syamsu:
Hasratku hendak
berlari bersamamu, kawan
Tapi jangankan
berlari, berjalan cepat pun tak dapat
Bukan karena
tenagaku kurang atau badanku lamban
Tapi karena
sarungku, langkahku terhambat-hambat
Hasratku hendak
membumbung terbang tinggi
Tapi rambutku
panjang tersangkut pada ranting
Kusentakkan rambut, kebayaku sutera terkait duri
Keperempuanan!
Itukah yang lebih penting?
Tentu, tentu. Aku
juga mengaku!
Tapi belum tentu
aku kan ketinggalan
Dengan pekerti
lembut, lenggok lemah gemulai
Cita-citamu,
Gadis juga kan tercapai!
Sarung, yang menempel pada perempuan sebetulnya
itu hal-hal yang sedikit bisa kita
hindari, perempuan tidak selalu harus lembut, harus begini
begitu, tidak boleh menangis, dan sebagainya. Sementara perempuan itu juga penuh dengan ketakutan, gampang menangis,
dll, ini sangat menghantui semua perempuan. Saya
sendiri ketika ingin keluar dari Pati harus begini harus begitu, “kamu itu wong wedo arep endi”,
dan masalah lainnya membuntuti setelah itu. Itu
padahal baru mau keluar.
Sekarang sudah mulai
berkurang, tapi tetap masih
bergulat dalam masyarakat kita. Mungkin kita sebagai orang tua akan memperlakukan anak kita seperti
itu, “kamu malam-malam kok keluar,
kamu perempuan jangan begini jangan begitu”.
Anak sekarang sudah pandai bicara dengan orang tua, “kalau saya keluar malam memang kenapa bu?”. Pandai
tapi tetap tidak bisa lepas. Seperti jaringan virus yang tidak sengaja tapi
terasa. Kesetaraan hak perempuan dan laki-laki tapi tetap saja dalam keluarga
masih terkungkung. Ada yang harus dibenahi. Salah satu
pembenahan itu adalah lewat PENDIDIKAN. Masyarakat kita
baru bisa membaca di permukaan, belum bisa membaca lingkungan, fenomena alam,
dll.
Saya yakin tidak mudah mempraktekkan
kesetaraan gender. Pendidikan sangat dibutuhkan bukan cuma
membaca, tapi ada terobosan penyadaran terhadap perempuan
secara individu. Kalau dalam organisasi mungkin bisa, tapi saya sendiri lebih
suka pada individu, bahwa mau melakukan sesuatu itu tidak perlu takut, berjalan
sendiri silahkan tidak perlu takut.
Saya percaya bahwa sastra akan
mengiringi kehidupan masyarakat menulis berbagai perilaku
masyarakat dan akan menjadi abadi,
sastra tidak pernah akan hilang. Anak cucu kita
suatu saat akan membaca karya kita. Saya sebagai seorang penulis, saya memilih
itu karena suatu saat akan ada yang membaca. Penyadaran butuh waktu panjang dan
kesabaran.
Moderator:
Pendidikan
tidak hanya huruf, angka tapi kepekaan sosial, untuk melatihnya banyak baca
salah satunya dengan membaca sastra.
Isma Kazee:
Senang bergabung di acara ini,
bertemu mbak Abidah untuk yang ke sekian
kali dan mbak Ulfatin baru pertama kali, kebangetan ya, apalagi kita satu almamater.
Kata
“pengarusutamaan” ini saya artikan: satu upaya
untuk memasukkan aspirasi, perspektif,
gagasan dan kebutuhan termasuk persoalan yang berhubungan
dengan ketidakadilan gender.
Kalau dalam karya sastra ada dua
komponen penting:
1.
Penulisnya
2.
Pembacanya.
Kenapa dua komponen itu penting karena ketika
karya sastra itu selesai ditulis, yang
menentukan selanjutnya adalah pembaca. Bagaimana sudah
adilnya peran gender kalau pembacanya tidak bisa baca dengan kritis, akan
terjadi kemusporan, tidak berguna.
Karya sastra punya kekuatan untuk melakukan penbdidikan
dan juga mengubah opini publik.
Apa yang bisa
dilakukan oleh penulis adalah penokohan, setting,
alur dan bahasa yang dipakai, diksi yang
dipilih oleh penulis. Kalau untuk pembaca apa yang bisa dilakukan?
1.
Pembaca kebanyakan
2.
Pembaca tingkat
tinggi, (peneliti, dosen)
mereka sudah mengkolaborasikan bagaimana membaca dengan pisau
analisis tertentu. Salah satunya ada gender analysis untuk membaca
sebuah karya sastra.
Berbagai pisau analisa
untuk membaca sebuah karya dapat diberikan kepada teman-teman
remaja. Banyak yang bisa dipakai dengan cara yang sederhana,
salah satunya “gender analysis”.
Paling tidak ada 4 cara untuk melakukan “gender analysis”:
1.
Apakah ekpektasi
gender dalam karya itu membuat posisi si tokoh perempuan itu
tidak sejajar dengan posisi laki-laki?
2.
Apakah si tokoh ini
bisa berpikir kritis ketika dihadapkan pada peran
yang tidak seimbang?
3.
Kalau bisa
melakukan perlawanan kritik atas realitas gender yang
tidak adil, apa yang harus dikorbankan?
4.
Apakah dia dengan perlawanan
itu bisa diterima di lingkungan, di setting
ceritanya?
Analisis untuk
melihat film, dengan hanya menjawab 3 pertanyaan:
1.
Ada berapa jumlah tokoh
perempuan dalam film itu
2.
Apakah
antara tokoh perempuan satu dengan yang lain saling ngomong
3.
Kalau misalnya ngobrol, apakah
yang diomongkan itu soal laki-laki? Misalnya hanya
bagaimana menarik
laki-laki.
Dengan menjawab 3
pertanyaan itu kita bisa menilai sebagai pembaca
pemula.
Bagaimana upaya mengoptimalkan
peran perempuan dalam pengarusutamaan
gender menurut
saya ada 3 hal:
1.
Regenerasi penulis perempuan.
Saya pernah menulis tentang regenerasi penulis perempuan di pesantren. Bukunya
Arimbi yang melakukan interview dengan mbak
Abidah, Asma Nadia, dan…...
Berbekal dari situ saya memposisikan
mbak Abidah sebagai generasi
pertama penulis pesantren. Lalu generasi keduanya siapa?. Saya wawancara
dengan beberapa orang dari Matapena,
An-Nuqoyah, dan Lumajang.
Dalam pikiran saya, penting untuk melahirkan banyak mbak Abidah.
Sepakat dengan mbak Ulfatin bahwa pendidikan penting termasuk untuk regenerasi ini. Pesantren
punya potensi besar untuk melakukan regenerasi di mana
penulis tinggal di satu tempat, karena kesuksesan seseorang dibentuk juga oleh
lingkungan.
2.
Melalui organisasi-organisasi. Organisasi itu juga
penting menurut saya. Saya melihat Fatayat
juga punya potensi penting. Karena menurut saya Habiburrahman
El-Syirazi itu membooming karena aktif di MLP yang mempunyai ribuan sel. Ini bisa ditiru
oleh Fatayat, ini bisa
dipakai juga jika ada anggota Fatayat yang menulis
novel. Karena masalahnya marketing/sosialisasi
juga. Kalau untuk penulis pemula, agak sulit kalau tidak ada penguatan kultural
dan dukungan. Itulah yang coba dilakukan oleh Komunitas Matapena. Novel
yang diterbitkan oleh Matapena adalah novel perdana, mereka yang
belum punya nama.
3.
Optimalkan pembaca
yang kritis. Bagaimana pembaca itu punya perspektif gender ketika
dia membaca sastra. Kalau di Fatayat ada novel yang ditulis bercerita tentang keadilan
gender. Kalau itu dibedah oleh teman-teman Fatayat
lewat analisis lalu ditulis dan dipublikasikan untuk
membuat legitimasi bahwa ini karya sastra yang terbagus setelah Perempuan Berkalung Sorban, misalnya.
Proyek seperti YKF yang melahirkan novel itu sekarang belum
ada lagi. Coba kalau ada lagi 5 novel seperti itu dengan angel berbeda-beda.
Coba kalau Fatayat bisa melakukan itu.
Sejauhmana yang
dilakukan Matapena berkaitan dengan tema ini. Contoh pengarusutamaan
gender misalnya ada kuota 20 persen di perlemen, di pendidikan ada kebijakan laki-laki dan perempuan punya akses yang sama
mengenyam pendidikan. Di Matapena:
1.
Setiap kali
workshop ada modul salah satunya konten tulisan. Kita kenalkan apa “gender
equality” dan kenapa itu penting, dan bagaimana mengintegrasikannya
dalam tulisan. Dalam program “Sinau sampe iso”, ada
2 tema: “gender mainstreaming”
masuk dalam poin kedua.
2.
Dalam proses penulisan, diluar
naskah yang dikirim non anggota, dalam proses
pembacaan ada antene/radar bagian mana yang tidak sejalan dengan kesetaraan
gender. Kalau tidak bagus ada negosiasi
dengan penulis. Salah satunya novel yang ditulis oleh….....
meski tidak ketara, tapi di belakang tokoh perempuannya
mau dipoligami. Jadi si tokoh permepuannya, meski aktifnya luar biasa tapi akhirnya
mau dipoligami. Nah ini harus didiskusikan lagi dengan penulisnya.
3.
Kami ada
program “Penulis
Perempuan Matapena”, yang terinspirasi
oleh program YKF yang menginformasikan hak reproduksi lewat novel. Kita ingin
teman perempuan yang ada di Matapena menulis
isu-isu perempuan. Ada beberapa tema yang sudah disiapkan, dan ini masih ongoing program.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar