Jumat, 22 Maret 2013

Kegiatan PW Fatayat


Sarasehan Sastrawan Perempuan
“Pengarusutamaan Gender dalam Karya Sastra"

Acara yang diselenggarakan oleh Devisi Sosial, Seni dan Budaya PW. Fatayat NU DIY pada Minggu 17 Maret 2013 lalu mampu menggugah semangat menulis bagi para peserta. Di Pendopo LKiS ini acara sarasehan berlangsung menarik dan seru. Mb' Abidah pun terlihat bersemangat dalam mengisi acara tersebut. Ia pun banyak bercerita tentang kisahnya selama pembuatan Novel "Perempuan Berkalung Sorban", proses difilm-kannya sampai bagaimana reaksi masyarakat dalam menanggapi kontroversi yang ada pada Film tersebut. 
Begitu pun dengan Mb' Ismaa Kazee, dia menjelaskan bahwa penulis perempuan yang mengangkat tema pengarusutamaan gender masih sangat minim, kita harus menciptakan regenerasi untuk penulis perempuan. mb' Ulfatin CH juga menjelaskan akan kekuatan syair itu sangat dasyat merubah pola pikir masyarakat.
untuk lebih jelasnya simak notulensi dari kami, semoga bermanfaat:

Abidah El-Khaliqy:
Terima kasih untuk kedatangan dan kesabaran teman-teman serta molornya juga J. Saya yakin semua sudah baca makna wal’ashri, ini luar biasa. Calon sastrawan memang harus begini J
Di Majenang ada Ponpes Miftahul Huda, dipimpin oleh mantan Dirjen haji Kemenag Pusat, Bpk KH Slamet Riyanto. Saya ditodong memberikan setetes ilmu kepada para wakil santri, kyai, bu nyai yang ada di situ. Karena acaranya mendadak, saya bicara apa saja yang penting bagaimana mereka tahu dari yang sedikit  itu. Acara itu begitu penuh dan padat. Dalam perjalanan itu saya disms Azzah, “mbak jangan lupa besok acara Sarasehan ya”. Saya bilang: “saya siap”, padahal belum saat itu. Tapi sekarang saya sudah siap.
Setahu saya kata “pengarusutamaan” itu dari kata “Mainstream”, berarti pemainstreaman gender dalam karya sastra. Saya pikir ini berhubungan dengan novel “Perempuan Berkalung Sorban”. Kalau saya harus membicarakan novel itu dari A sampe Z kita akan ketemu dengan tema ini dengan sempurna.
Pagi ini akan saya ceritakan novel ini, latarnya, dibikinnya seperti apa, proses dibuat film seperti apa lalu ada kontroversi.
Gagasan awalnya adalah dari Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) DIY. Kami bergabung di situ dan menggagas sebuah media pemberdayaan perempuan melalui novel, maka ditulislah novel ini. Jadi ide awalnya dari YKF karena mereka punya program pemberdayaan perempuan. Saya bukan dari YKF. Saya dipanggil untuk hadir, kemudian kami sepakat. Saya lihat apa yang akan dilakukan YKF itu bukan hanya bagus tapi juga mulia.
Novel ini kan isinya kampanye tentang hak reproduksi perempuan, seputar fiqhunnisa. Pengetahuan kita tentang kesehatan reproduksi adalah ketika kita hamil, menyusui, hanya sampai di situ. Padahal ternyata ketika kita ingin mengetahui lebih jauh tentang reproduksi ini di sana ada hak-hak perempuan. Dalam fiqhunnisa sudah diatur bahkan sudah diratifikasi oleh PBB, namum belum tersosialisasi. Ternyata di situ saya tahu hak reproduksi peremouan itu menyangkut seluruh daur kehidupan peremouan dari mulai lahir sampai ke liang lahat. Seperti belajar dari lahir sampai mati minal mahdi ilallahdi. Mulai aqiqah, laki-laki 2 kambing perempuan hanya satu. Ketika perempuan mens ada hak reproduksi yang perlu diberikan oleh masyarakat. Kita sendiri sebagai perempuan belum tahu. Inilah yang ingin disampaikan oleh novel ini.

Karena ini karya fiksi maka aturannya juga fiksi. Kira-kira tema seperti ini ada kesamaan dengan karya saya. Atas alasan inilah YKF memilih saya untuk nulis itu. Kita adakan kolaborasi. Ide ini adalah ide besar dan saya belum pernah mendapati di Indonesia ini satu lembaga atau yayasan yang menggagas ide pemberdayaan perempuan melalui novel.
Ini adalah ide yang sangat luar biasa karena melalui novel jangkauan nya semua level, anak-anak sampai orang dewasa, dan tidak terikat waktu, bisa sampai kapanpun. Selain dibaca oleh orang Indonesia, ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain juga akan dibaca oleh lebih banyak orang lagi di luar Indonesia. Bedanya menulis buku dengan menjadi pembicara adalah kalau pembicara idenya hanya terbatas didengar oleh audiens yang hadir pada saat itu, tapi kalau buku ia bisa dibaca di segala tempat dan di segala waktu. Selain itu jika buku diterbitkan ulang maka akan dibaca oleh generasi mendatang dan seterusnya. Itulah kekuatan sebuah buku. Begitu luas jangkauannya, beda dengan mubaligh atau orator ataupun pembicara.
Novel “Perempuan Berkalung Sorban” pertama kali dicetak (tahun 2001) sebanyak 3000 eksemplar dan tidak dijual di toko, karena penerbitan novel ini didanai oleh Ford Foundation,dan dibagikan kepada pondok pesantren, LSM, perguruan tinggi-perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Apa yang terjadi kemudian, entah siapa yang berbuat nakal, buku ini tiba-tiba ada dii toko buku. Kalau sang penerbitnya sama, kenapa saya selaku penulis tidak tahu, tidak ada perjanjian dan saya tidak dapat royalti, entah kenapa.
Dari buku yang beredar di toko buku lalu terbeli oleh produser Starvision, Chand Parwez Servia, salah satu raja film. Ketika dia baca novel ini, dia pikir “sangat filemis. Pertama dilihat dari alur ceritanya, bukan isinya. Isi adalah yang kedua atau ketiga. Lalu Parwez ingin tahu siapa penulisnya dan kemudian mengontak penerbit, dan penerbit kontak saya. Lalu terjadilah deal tahun pada tahun 2002.
Kenapa film ini baru muncul tahun 2009? Karena menurut sang produser ternyata novel ini isinya berat dan suatu hal yang substansial, revolusi pemikiran, sesuatu yang melawan arus, sangat berat dan idealis untuk dijadikan sebagai film. Dia kemudian mencari penulis skenario dan sutradara. Parwez diskusi dengan banyak sutradara dan penulis skenario, diantaranya sutradara kawakan Chaerul Umam yang menyutradarai film “Titian Serambut Dibelah Tujuh” . Sebuah fim yang kontroversial juga karena ia bercerita tantang “mairil”, homoseks di pondok pesantren. Tetapi kasus homo di pondok pesantren tidak persis seperti homoseks pada umumnya, tapi ada kemiripan. Kalau terjadi di luar itu yang dikutuk oleh Tuhan, tapi yang di pondok pesantren tidak sejauh itu.
Saya sudah ketemu muka dengan Chaerul Umam, akhirnya gagal juga, 3 kali gagal (skenario dan sutradara). Ketika pada tahun 2009 ada film “Ayat-ayat Cinta yang juga film religi, setiingnya pondok pesantren, Timur Tengah, pemainnya dijilbabi, kok sukses. Ketika Parwez lihat film ini sukses, barulah ia berani menggarap film seperti Ayat-ayat Cinta yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Maka Hanung pun menjadi sutradara film “Perempuan Berkalung Sorban. Film ini digarap selama satu tahun. Skenario dikerjakan sebanyak 13 draft, setiap draft dikasih ke saya dulu lalu diminta masukan dan revisi. Pada draft ke 13 ini baru oke. Semua itu kita diskusikan.
Ketika film ini baru selesai diedit di Bangkok, yang pertama nonton kan saya sebagai penulis, ternyata yang saya lihat jauh sekali dari skenario yang dikirim ke saya. Di lapangan sutradara telah melakukan penambahan dan pengurangan. Terjadi distorsi sedemikan rupa, sehingga memicu kontroversi, meski di Indonesia ketika itu film yang bisa tayang sudah mengalami 4 kali sensor BSF (Badan Sensor Film). Di BSF ini ada 4 orang dari MUI yang ikut menyensor dan mereka sudah melakukan editan, akhirnya film ini lolos sensor, dan yang lolos inilah yang masuk Bioskop “21.
Meski sudah lolos sensor, film ini masih menimbulkan kontroversi. Yang menyerang pertama juga dari MUI. Seminggu setelah diserang, para awak wartawan menyerbu saya baik dari media nasional maupun internasional, ada yang lewat telp, wawancara, di radio (Netherland & Amerika), mereka mau tahu seperti apa film itu.
Fase berikutnya apa yang saya alami adalah mendapat undangan talkshow, baik tentang buku maupun tentang film, dari Sabang sampai Merauke, dari ma’had, pondok pesantren sampai dari luar negeri (Hongkong, Singapura dan Malaysia). Saya juga melakukan roadshow di Jatim (Surabaya, Jombang, Jember), selama satu minggu.
Satu kali di Jatim saya dibantai habis-habisan oleh pak Kyai (tak perlu sebutkan pesantrennya) di hadapan 600 mahasiswa/santrinya (pesantren tersebut mempunya perguruan tingginya). Pak kyai bilang: mbak Abidah sudah berani masuk ke sarang macan, maka akan dikuliti dan pulang tinggal nama. Walah pak Kyai, sama dengan Ryan dong (memutilasi), pikir saya. Lalu pak Kyai ini melanjutkan “Saya ini seorang mufassir, hal pertama yang saya benci adalah apa yang saya sebut dengan novel!”. Hal itu dia sampaikan sambil melempar novel dan mengenai minumannya sendiri, saking marahnya tangannya sampai keram.
Acara itu agak ricuh, padahal diliput oleh 6 mass media, lokal dan nasional. Mungkin pak Kyai ini belum membaca tuntas novelnya, tetappi mencari apa yang jelek dari buku ini. Dan yang dia cari ketemu yaitu ada tulisan Ford Foundation-nya. Dia bilang karena novel ini didanai oleh FF maka ia liberal. Karena liberal, maka komunis, karena komunias maka Khonghucu!. Novel ini dibanting lagi sampai air minumnya pak Kyai tumpah lagi. Kemudain pak Kyai ini lama gak bisa ngomong saking marahnya dengan saya.
Sebelumnya saya sudah diteror dua kali ketika datang ke pesantren karena novel ini dianggap menghujat kyai, dan menghujat Islam. Dia mencari mana yang bisa dikritisi. Ada yang bilang: ini apa? buku ini katanya hebat tapi kok di sini perempuan boleh pacaran dengan laki-laki?. Saya bilang ke pak Kyai (yang pegawai Depag), bahwa novel ini bukan buku fiqh. Menurutnya namanya buku best seller itu harusnya begini, begini. Lalui  saya bilang:  “Pak Kyai, buku ini novel, bukan fiqh apalagi kitab suci, ini bukan kitab riyadushshalihin. Ini adalah karya fiksi yang diambil dari realitas kehidupan sehari-hari, tapi ada visi dan misi yang ingin dicapai. Hidup ini tidak hanya hitam putih. Bahkan dalam kitab suci saja ada kisah Abu Jahal, Firaun. Semua perempuan di dunia ini, termasuk anak pak Kyai aja saya tidak yakin tidak pacaran. Tapi dia tidak mau terima dan tetap marah, mencaci maki buku ini yang tidak ada juntrungnya. Saya ingin menohok tapi kasihan, takut kramnya kumat.
Lalu saya kembalikan kepada para santri, mereka malah bijak karena ketika pak Kyai marahin saya para santri berteriak “huuu huuuuu”. Lalu pak Kyai bilang: sabar toh, ini baru koma, belum selesai! Kalian itu tahu kan innallaha maasshabirin?”. Tiba-tiba pak Kyai merasa salah, maju kena mundur kena. Pak Kyai ini menganggap novel ini sesat, karena perempuan palwarid. Novel ini perjalanannya panjang sekali. Sepanjang saya talkshow di perguruan-perguruan tinggi hampir 90 persen responnya positif karena murni perspektif sastra, kalaupun ada perspektif feminisnya hampir 95 persen positif dan kalau di komunitas, di majlis ta’lim bahkan ketika ke Hongkong yang undang adalah bapak konsulat.  Di sana saya dipertemukan dengan puluhan ribu pahlawan devisa negara (TKI). Ternyata mereka luar biasa. Mahasiswa Indonesia yang ada di Hongkong begitu antusiasnya, luar biasa. Saya alami pengalaman yang tidak enak malah dari pak Kyai, bukan santrinya.
Perjalanan dari seluruh talkshow itu saya lihat intinya ada missunderstanding, miskomunikasi, misinterpretasi dari pak Kyai (tidak semua tentu saja). Kalau lihat di google, ketik Perempuan Berkalung Sorban maka ada 3 juta entry pembahasan tema ini, 99,9 persennya positif dan kebanyakan dari perempuan, misalnya “mbak Abidah aku ada di belakangmu!”.
Adalah oknum dari MUI yang pertama melontarkan kontroversi. Kontroversi ini ada sisi postifnya dan negatifnya (dimarah-marahin). Positifnya buku ini gak ada masalah. Pas acara launching novel, YKF mengundang sekitar 100 Kyai muda NU, mereka lulusan timur tengah semua (Al-Azhar Mesir, Libya) dan mereka sudah membaca. Setelah saya paparkan mereka berpendapat ini harus diteruskan. Ada masukan soal istilah-istilah bahasa Arab, jadi masalah teknis bukan isi/substansinya.
Bisa kita simpulkan dari cetak tahun 2001 sampai difilmkan tahun 2009, tidak ada polemik tentang novel ini. Sepanjang tahun ini tidak terjadi apa-apa. Baru setelah film itu muncul ternyata jadi kontroversi.
Kontroversi pertama dilontarkan ibu Fitriani, istri dari oknum MUI. Dia menulis di Republika mengkritisi bahwa tokoh perempuan di film itu selalu membawa buku Pramudya Ananta Toer. Bagi kita tidak ada masalah, tapi bagi para kyai Pramudya itu PKI. Bagi sastrawan muda kalau bicara Pram adalah bentuk protes kita terhadap Orde Baru, ya karena yang mem-PKI-kan pram adalah Orde Baru. Kita kurang apresiasi terhadap karya Pram karena sitgmatisasi Orde Baru. Di luar negeri Pram sangat diapresiasi. Pak Taufik Ismail, yang saya anggap ayah angkat, bilang: “Kenapa buku Pram yang dibawa-bawa, bukan bukunya Hamka?”. Lalu saya jelaskan bahwa di novel itu tidak ada, itu adalah tambahan dari sutradara.
Sutradara tahu apa yang akan bikin kontroversi, maka dicantumkanlah buku Pram ini. Sutradara memang sengaja merekayasa supaya film ini controversial untuk meningkatkan penjualan. Hanung di salah satu wawancara bilang bahwa film ini akan menuai kontroversi. Saya bingung, salah saya di mana?. Saya yang dicaci maki, produser yang untung.
Tapi Allah punya rencana lain. Seminggu sebelum launching film, produser bilang mbak kenapa buku ini tidak dicetak ulang? Saya siap membantu penjualannya”. Ya sudah, begitu film ini muncul, maka buku ini tiap 2 hari dicetak ulang!. Jadi Allah punya rencana lain. Saya sudah dapat hinaan, tangisan, ternyata buku ini dicetak ulang tiap 2 hari. Di Jakarta orang-orang dari bank berjejer ke penerbit ingin mendanai buku ini, sampai penerbitnya bingung, yang mana yang mau dipakai. Dicetak seperti itu selama 2 bulan. Begitu mereda film, mereda pula bukunya.
Nah, ganti saya yang talkshow selama 1 tahun, tentang buku maupun tentang filmnya. Kalau di kampus-kampus lebih mantap langkah saya, tapi kalau yang manggil pak Kyai walah luar biasa. Dari pengalaman ini saya pikir mass media menganaktirikan saya, diperlakukan tidak adil karena saya tidak punya hak jawab.  Ketika ada ide, anda senang dan ketika ide anda dibaca orang lain maka membuat orang lain senang juga dan membuka pikiran mereka.
Dari talkshow itu saya lalu nulis dengan meramu dari semua hak jawab saya dalam dibingkai sastra. Nanti alurnya di seputar acara keliling talkshow, judulnya Mata Raisa. Setiap saya nulis novel nama-namanya punya makna, dan alurnya saya sesuaikan dengan makna tokoh-tokoh itu.  Kalau di Perempuan Berkalung Sorban tokohnya namanya Annisa, sosok perempuan yang androgin, ingin menunjukkan bahwa seluruh manusia itu androgin. Sorban itu kan simbol. Sorban yang biasa dipakai ulama laki-laki dan menjadi simbol kemuliaan yang memakainya ingin saya lekatkan kepada perempuan. Semua manusia itu androgin yaitu makhluk yang punya kualitas maskulin dan juga feminin. Sama seperti Al-Khalik sebagai pencipta,  al Lathif, ar Rahman, ar Rahim, tetapi juga al Qahhar, al Qadir. Sebetulnya Khalik maupun makhluk sama-sama androgin. Novel “Mata Raisa ini merupakan novel ungkapan saya dalam perjalanan dengan novel Perempuan Berkalung Sorban dulu.
Bahasa “Perempuan Berkalung Sorban” itu sebenarnya bukan Abidah banget. Karena tulisannya adalah berbahasa lugas bukan seperti penyair. Novel “Mahabbah Rindu”, novel saya yang ke-3, juga akan di filmkan. Bahasa Mahabbah Rindu sangat sastrawi. Sudah memperoleh 3 award, salah satunya “Anugrah Sastra dari Kemendiknas. Novel Mata Raisa” adalah novel terbaru, sudah cetak 5000 eks tapi sudah habis dalam waktu hanya lima bulan. Novel ini juga mengisahkan isu-isu tentang perempuan.

Ulfatin Ch:
Terima kasih sudah diundang oleh Fatayat karena selama ini belum pernah dengan Fatayat, baru dengan PMII.
Dalam karya sastra, saya lebih sering menulis puisi, jadi lebih tepatnya saya itu penyair. Karya-karya saya di antaranya Konser Sunyi (1995) dan Selembar Daun Jati (1996). Puisi-puisi saya juga terdapat dalam berbagai antologi bersama antara lain Kafilah Angin (1990), Sembilu (1991), Risang Pawestri (1992), Delapan Penyair (1992), Sastrawan Angkatan 2000 (2000).
Karya sastra sangat memberikan pencerahan. Dari dulu masalah perempuan selalu diusung oleh pengarang. Mungkin yang fundamental saat mbak Abidah menulis novel Perempuan Berkalung Sorban. Kok bisa ya jadi kontroversi, karena sebelum difilmkan saya sudah baca. Kemungkinan karena banyak menohok kyai. Itu tidak hanya terjadi pada lingkungan pesantren saja tapi juga di luar pesantren, perempuan harus begini harus begitu.
Perempuan Berkalung Sorban itu menurut saya halus-halus aja. Coba kalau kita lihat karya Jenar Maesa Ayu, wah itu kasar banget, pasti pak kyai marah sekali. Cerpen juga banyak yang mengusung tentang perempuan. Puisi dari dulu juga banyak yang mengusung tentang perempuan, mulai dari RA Kartini, Nur Syamsu, Tuti Herati.  Cuma puisi lebih tidak/kurang tampak. Kalau dalam novel kelihatan perjuangan perempuan karena ada alurnya, kalau dalam puisi hanya selintas. Seperti dalam karya Nur Syamsu:
Hasratku hendak berlari bersamamu, kawan
Tapi jangankan berlari, berjalan cepat pun tak dapat
Bukan karena tenagaku kurang atau badanku lamban
Tapi karena sarungku, langkahku terhambat-hambat
Hasratku hendak membumbung terbang tinggi
Tapi rambutku panjang tersangkut pada ranting
Kusentakkan rambut, kebayaku sutera terkait duri
Keperempuanan! Itukah yang lebih penting?
Tentu, tentu. Aku juga mengaku!
Tapi belum tentu aku kan ketinggalan
Dengan pekerti lembut, lenggok lemah gemulai
Cita-citamu, Gadis juga kan tercapai!

Sarung, yang menempel pada perempuan sebetulnya itu hal-hal yang sedikit bisa kita hindari, perempuan tidak selalu harus lembut, harus begini begitu, tidak boleh menangis, dan sebagainya. Sementara perempuan itu juga penuh dengan ketakutan, gampang menangis, dll, ini sangat menghantui semua perempuan. Saya sendiri ketika ingin keluar dari Pati harus begini harus begitu, kamu itu wong wedo arep endi, dan masalah lainnya membuntuti setelah itu. Itu padahal baru mau keluar.
Sekarang sudah mulai berkurang, tapi tetap masih bergulat dalam masyarakat kita. Mungkin kita sebagai orang tua akan memperlakukan anak kita seperti itu, “kamu malam-malam kok keluar, kamu perempuan jangan begini jangan begitu. Anak sekarang sudah pandai bicara dengan orang tua, “kalau saya keluar malam memang kenapa bu?”. Pandai tapi tetap tidak bisa lepas. Seperti jaringan virus yang tidak sengaja tapi terasa. Kesetaraan hak perempuan dan laki-laki tapi tetap saja dalam keluarga masih terkungkung. Ada yang harus dibenahi. Salah satu pembenahan itu adalah lewat PENDIDIKAN. Masyarakat kita baru bisa membaca di permukaan, belum bisa membaca lingkungan, fenomena alam, dll.
Saya yakin tidak mudah mempraktekkan kesetaraan gender. Pendidikan sangat dibutuhkan bukan cuma membaca, tapi ada terobosan penyadaran terhadap perempuan secara individu. Kalau dalam organisasi mungkin bisa, tapi saya sendiri lebih suka pada individu, bahwa mau melakukan sesuatu itu tidak perlu takut, berjalan sendiri silahkan tidak perlu takut.
Saya percaya bahwa sastra akan mengiringi kehidupan masyarakat menulis berbagai perilaku masyarakat dan akan menjadi abadi, sastra tidak pernah akan hilang. Anak cucu kita suatu saat akan membaca karya kita. Saya sebagai seorang penulis, saya memilih itu karena suatu saat akan ada yang membaca. Penyadaran butuh waktu panjang dan kesabaran.
Moderator:
Pendidikan tidak hanya huruf, angka tapi kepekaan sosial, untuk melatihnya banyak baca salah satunya dengan membaca sastra.

Isma Kazee:
Senang bergabung di acara ini, bertemu mbak Abidah untuk yang ke sekian kali dan mbak Ulfatin baru pertama kali, kebangetan ya, apalagi kita satu almamater.
Kata “pengarusutamaan” ini saya artikan: satu upaya untuk memasukkan aspirasi, perspektif, gagasan dan kebutuhan termasuk persoalan yang berhubungan dengan ketidakadilan gender.
Kalau dalam karya sastra ada dua komponen penting:
1.    Penulisnya
2.    Pembacanya.
Kenapa dua komponen itu penting karena ketika karya sastra itu selesai ditulis, yang menentukan selanjutnya adalah pembaca. Bagaimana sudah adilnya peran gender kalau pembacanya tidak bisa baca dengan kritis, akan terjadi kemusporan, tidak berguna. Karya sastra punya kekuatan untuk melakukan penbdidikan dan juga mengubah opini publik.
Apa yang bisa dilakukan oleh penulis adalah penokohan, setting, alur dan bahasa yang dipakai, diksi yang dipilih oleh penulis. Kalau untuk pembaca apa yang bisa dilakukan?
1.    Pembaca kebanyakan
2.    Pembaca tingkat tinggi, (peneliti, dosen) mereka sudah mengkolaborasikan bagaimana membaca dengan pisau analisis tertentu. Salah satunya ada gender analysis untuk membaca sebuah karya sastra.
Berbagai pisau analisa untuk membaca sebuah karya dapat diberikan kepada teman-teman remaja. Banyak yang bisa dipakai dengan cara yang sederhana, salah satunya gender analysis.
Paling tidak ada 4 cara untuk melakukan “gender analysis”:
1.    Apakah ekpektasi gender dalam karya itu membuat posisi si tokoh perempuan itu tidak sejajar dengan posisi laki-laki?
2.    Apakah si tokoh ini bisa berpikir kritis ketika dihadapkan pada peran yang tidak seimbang?
3.    Kalau bisa melakukan perlawanan kritik atas realitas gender yang tidak adil, apa yang harus dikorbankan?
4.    Apakah dia dengan perlawanan itu bisa diterima di lingkungan, di setting ceritanya?
Analisis untuk melihat film, dengan hanya menjawab 3 pertanyaan:
1.    Ada berapa jumlah tokoh perempuan dalam film itu
2.    Apakah antara tokoh perempuan satu dengan yang lain saling ngomong
3.    Kalau misalnya ngobrol, apakah yang diomongkan itu soal laki-laki? Misalnya hanya bagaimana menarik laki-laki.
Dengan menjawab 3 pertanyaan itu kita bisa menilai sebagai pembaca pemula.
Bagaimana upaya mengoptimalkan peran perempuan dalam pengarusutamaan gender menurut saya ada 3 hal:
1.    Regenerasi penulis perempuan. Saya pernah menulis tentang regenerasi penulis perempuan di pesantren. Bukunya Arimbi yang melakukan interview dengan mbak Abidah, Asma Nadia, dan... Berbekal dari situ saya memposisikan mbak Abidah sebagai generasi pertama penulis pesantren. Lalu generasi keduanya siapa?. Saya wawancara dengan beberapa orang dari Matapena, An-Nuqoyah, dan Lumajang. Dalam pikiran saya, penting untuk melahirkan banyak mbak Abidah. Sepakat dengan mbak Ulfatin bahwa pendidikan penting termasuk untuk regenerasi ini. Pesantren punya potensi besar untuk melakukan regenerasi di mana penulis tinggal di satu tempat, karena kesuksesan seseorang dibentuk juga oleh lingkungan.
2.    Melalui organisasi-organisasi. Organisasi itu juga penting menurut saya. Saya melihat Fatayat juga punya potensi penting. Karena menurut saya Habiburrahman El-Syirazi itu membooming karena aktif di MLP yang mempunyai ribuan sel. Ini bisa ditiru oleh Fatayat, ini bisa dipakai juga jika ada anggota Fatayat yang menulis novel. Karena masalahnya marketing/sosialisasi juga. Kalau untuk penulis pemula, agak sulit kalau tidak ada penguatan kultural dan dukungan. Itulah yang coba dilakukan oleh Komunitas Matapena. Novel yang diterbitkan oleh Matapena adalah novel perdana, mereka yang belum punya nama.
3.    Optimalkan pembaca yang kritis. Bagaimana pembaca itu punya perspektif gender ketika dia membaca sastra. Kalau di Fatayat ada novel yang ditulis bercerita tentang keadilan gender. Kalau itu dibedah oleh teman-teman Fatayat lewat analisis lalu ditulis dan dipublikasikan untuk membuat legitimasi bahwa ini karya sastra yang terbagus setelah Perempuan Berkalung Sorban, misalnya. Proyek seperti YKF yang melahirkan novel itu sekarang belum ada lagi. Coba kalau ada lagi 5 novel seperti itu dengan angel berbeda-beda. Coba kalau Fatayat bisa melakukan itu.
Sejauhmana yang dilakukan Matapena berkaitan dengan tema ini. Contoh pengarusutamaan gender misalnya ada kuota 20 persen di perlemen, di pendidikan ada kebijakan laki-laki dan perempuan punya akses yang sama mengenyam pendidikan. Di Matapena:
1.    Setiap kali workshop ada modul salah satunya konten tulisan. Kita kenalkan apa gender equality dan kenapa itu penting, dan bagaimana mengintegrasikannya dalam tulisan. Dalam program “Sinau sampe iso, ada 2 tema: gender mainstreaming masuk dalam poin kedua.
2.    Dalam proses penulisan, diluar naskah yang dikirim non anggota, dalam proses pembacaan ada antene/radar bagian mana yang tidak sejalan dengan kesetaraan gender. Kalau tidak bagus ada negosiasi dengan penulis. Salah satunya novel yang ditulis oleh…..... meski tidak ketara, tapi di belakang tokoh perempuannya mau dipoligami. Jadi si tokoh permepuannya, meski aktifnya luar biasa tapi akhirnya mau dipoligami. Nah ini harus didiskusikan lagi dengan penulisnya.
3.    Kami ada program “Penulis Perempuan Matapena, yang terinspirasi oleh program YKF yang menginformasikan hak reproduksi lewat novel. Kita ingin teman perempuan yang ada di Matapena menulis isu-isu perempuan. Ada beberapa tema yang sudah disiapkan, dan ini masih ongoing program. 

Tidak ada komentar: