Sabtu, 17 Desember 2011

Profile


Mbak Entis: Perempuan Inspirator*

Khairatun Khissan yang lebih akrab dipanggil Mbak Entis lahir sebagai anak ke- 6 dari 7 bersaudara dari pasangan Muhammad Tolhah Mansur (salah satu pendiri IPNU, Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga) dan Umroh Mahfudzoh (salah satu pendiri IPPNU dan satu-satunya perempuan yang pernah menjabat menjadi ketua partai PPP). Ia terlahir di Yogyakarta, 8 Januari 1970.
Panggilan Entis berawal dari kesulitan memanggil nama panggilannya di rumah, yakni Khis. “Guru TK Tri Pusara Rini memanggil nama saya Entis. Justru dari nama itulah, saya kemudian lebih dikenal, bukan nama Khis atau Khairatun Khissan”, demikianlah sepenggal cerita pembuka dari Mbak Entis, ketika kami mengunjunginya di rumah kakaknya, di Pondok Pesantren Suny Darussalam, Kalasan.
Berlatar belakang keluarga yang sangat mencintai pengembangan keilmuan dan organisasi, ia sangat akrab dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu, termasuk ilmu budaya, khususnya dalam bidang seni.
Sejak dari TK sampai pendidikan perguruan tinggi, bakat dan minatnya di bidang seni suara dipelajarinya secara simultan. Mulai dari pengasahan bakat seni suara/nyanyi dan membaca Quran dengan indah (Qiro’ah) dijalaninya di bawah bimbingan guru-guru sekolah dan guru kursus Qiro’ah dari Masjid Syuhada’. Mbak Entis juga sempat masuk memperkuat barisan Grup Samrohan El Nabil yang beranggotakan putra-putra dosen IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN Sunan Kalijaga). Grup ini menurutnya, cukup eksis dan berkualitas dalam pola latihan di bawah pengajaran Mbak Titik dan Mbak Yanti, sehingga tidak jarang/sering meraih juara pertama dalam even-even lomba Samrohan tingkat DIY.
Cita-cita awal sejak kecil adalah menjadi seorang penyanyi. Semenjak duduk di tingkat dasar, ia mengikuti grup qasidah, main musik kolintang, drumband, dan bahkan menari Melayu. Semuanya atas izin keluarga, tetapi Abahnya melarang ketika ia mempelajari tari Bali. Cita-citanya kemudian bergeser ingin menjadi ‘tukang insinyur’ dan diperjuangkan ketika nilai fisikanya sangat bagus sewaktu di MTs Negeri 2. Mbak Entis ingin meneruskan ke STM jurusan elektronika, tetapi keinginannya ditolak oleh Abahnya dan diarahkan ke MAN 1. Akhirnya, ia masuk ke jurusan biologi walaupun semula ingin masuk jurusan fisika. Setamat dari MAN, ia mengambil S1 IAIN Fak. Syari’ah Jur. Tafsir Hadis.
Bertolak dari kecintaannya terhadap seni budaya sejak kecil tersebut, Entis kecil semakin matang dalam usia dan pemahamannya tentang hidup. Dukungan yang sangat besar dari lingkungan keluarganya, terutama Abah dan Ibunya yang notabene adalah tokoh yang tidak diragukan kredibilitasnya di bidang pengembangan ilmu dan organisasi serta kemasyarakatan, Mbak Entis semakin kokoh dalam menentukan prinsip dan orientasi hidupnya. Menurutnya, ukuran sukses seseorang tidak bisa dilihat dari takaran martabat, kekayaan, atau pun titel yang disandangnya. Dari perkenalan dan pergaulannya yang diamati di lingkungan pedesaan, dia semakin yakin bahwa yang paling dibutuhkan oleh sesama manusia bukanlah semua takaran tersebut, melainkan ketulusan dan kesungguhan manusia untuk berbagi/memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada sesama manusia. Sebenarnya ini adalah aplikasi dari hadis Nabi yang berbunyi “Khoirunnnas anfa’uhun linnas”, lanjutnya. Selanjutnya, menjadi tugas kita bersama mengubah keadaan umat yang belum kondusif menjadi keadaan yang kondusif. Untuk melakukan perubahan dalam masyarakat, media yang paling ampuh menurutnya adalah melalui budaya. Bertitik tolak dari pandangan itu, Mbak Entis memantapkan diri untuk melanjutkan studinya di Pasca Sarjana Sanata Dharma konsentrasi Ilmu Religi dan Budaya.
Mbak Entis memulai aktif di Fatayat DIY sejak masa khidmat 1996-2001 sebagai pengurus PW Fatayat DIY pada bidang organisasi dan pendidikan kader. Pada tahun 2001-2006, ia diberi amanah sebagai ketua umum PW Fatayat DIY. Pada masa khidmat 2006-2010, ia menjadi direktur eksekutif Lembaga Konsultasi dan Pemberdayaan Perempuan (LKP2) PW Fatayat DIY.
Melalui kiprahnya lewat organisasi Fatayat dan keaktifannya dalam berbagi komunitas seni, termasuk seni tulis-menulis, Mbak Entis bisa dijadikan inspirator bagi perempuan. Dengan melalui perjuangan yang tentu tak cukup mudah, akhirnya Mbak Entis bisa menyelesaikan studi S2-nya dan berhasil menghasilkan tesis yang kemudian diterbitkan oleh LKIis dengan judul LESBUMI: Strategi Politik Kebudayaan pada tahun 2008. Riset tesisnya dibiayai Asia Research Institute (ARI) dengan pembimbing Dr. Budiawan dan Dr. Jennifer Lindsay. Riset pustaka tesisnya dilakukan di National University Singapore (NUS).
Selain itu, Mbak Entis yang notabene lahir dan kental dengan budaya serta lingkungan Nahdhatul Ulama (NU), membuat ia ‘sekan-akan’ dijadikan narasumber tentang semua hal yang berkaitan dengan NU oleh komunitas kampusnya di Sanata Dharma.
Dalam segala kesibukannya, Mbak Entis masih merasakan sebuah kegalauan, khususnya dalam organisasi Fatayat yang digelutinya selama ini. Menurutnya Fatayat sekarang perlu berbenah lebih intens dengan pendekatan budaya. Menurut Mbak Entis, Fatayat dulu bila menilik sejarah, lahir dari dan untuk masyarakat pedesaan dan pondok pesantren. Namun dengan berjalannya waktu, seakan ada jembatan yang terputus antara pengurus/kegiatan fatayat dan kegiatan/ruh masyarakat pedesaan dan pondok pesantren yang melahirkannya. Selain itu, juga budaya tulis-menulis di kalangan NU bisa dikatakan masih sangat memprihatinkan, sehingga pernah satu kali kesempatan, lantaran dipandang bisa menulis, Mbak Entis pernah diminta untuk menulis sesuatu yang bukan bidang garapannya.
            Selamat ya Mbak Entis. Teruslah berkarya dan kami tunggu realisasi program-program LKP2.

(NI’mah A. dan Imelda F., Litbang PW Fatayat DIY)

Tidak ada komentar: