Pesan Kesetaraan Langgam
Jawa
Oleh : Zusiana E Triantini*
….Tak gadang
biso urip mulyo
Dadio wanito utama
Luhurke asmane wong tuo
Dadio pandekare bangso....
Bait-bait syair di atas saya kutip dari sebuah langgam jawa yang saya dengarkan di sela-sela rutinitas pekerjaan yang saya lakukan. Tentu langgam ini sudah lama ada, tetapi mungkin baru kali ini saya menyadari pesan yang sejatinya ingin disampaikan dalam langgam tersebut. Entah karena situasi saat itu yang memang secara kebetulan saya mengerjakan sebuah tulisan tentang keadilan bagi perempuan atau memang karena kesadaran saya akan pesan langgam tersebut muncul karena ketidaksengajaan. Bisa jadi dua-duanya.
Dadio wanito utama
Luhurke asmane wong tuo
Dadio pandekare bangso....
Bait-bait syair di atas saya kutip dari sebuah langgam jawa yang saya dengarkan di sela-sela rutinitas pekerjaan yang saya lakukan. Tentu langgam ini sudah lama ada, tetapi mungkin baru kali ini saya menyadari pesan yang sejatinya ingin disampaikan dalam langgam tersebut. Entah karena situasi saat itu yang memang secara kebetulan saya mengerjakan sebuah tulisan tentang keadilan bagi perempuan atau memang karena kesadaran saya akan pesan langgam tersebut muncul karena ketidaksengajaan. Bisa jadi dua-duanya.
Bagi sebagian besar masyarakat jawa, khususnya jawa
timur dan jawa tengah, langgam jawa tidak lagi asing di telinga. Biasanya
langgam dinyanyikan saat masyarakat jawa menyelenggarakan hajatan, seperti
hajatan pernikahan, khitanan dan juga biasa diperdengarkan di radio-radio yang
secara khusus memiliki program untuk memutarnya.
Meski harus bersaing dengan lagu-lagu dari aliran lain seperti pop, rock, jas, dan dangdut, keberadaan langgam masih cukup lestari hingga saat ini, bahkan beberapa pencipta langgam jawa tersebut mulai membuat sebuah kolaborsi antara langgam jawa dengan aliran musik lainnya. Jadi yang biasanya langgam diiringi dengan kelompok karawitan, kini langgam bisa dinyanyikan dengan iringam kelompol band rock dan pop.
Nah, langgam lelo ledhung ini bukan akan di tilik dari
segi musikalitasnya, melainkan akan ditilik dari segi subsbstansi syair dalam
beberapa bait yang ada dalam langgam tersebut. Satu hal yang menarik dari
bait-bait langgam lelo ledhung di atas. Ada pesan-pesan kesetaraan yang
disampaikan lewat bait langgam tersebut. Sebuah cita-cita luhur orang tua
terhadap anak perempuannya dengan harapan besar ”dadio wanito utomo, luhurke
asmane wong tuo, dadio pandekare bongso”. Di sinilah letak kesetaraan yang saya
maksud. Di tengah budaya patriarkhi yang sangat kental dan sulit dilunturkan di
masyarakat jawa, pesan bahwa wanita atau perempuan pun harus menjadi pandekar
bangsa merupakan pencerahan yang patut untuk diperhitungkan. Bukan lagi masak,
manak dan macak yang seringkali diidentikan dengan tugas perempuan jawa.
Menjadi ”wanito utomo” bukanlah hal yang mudah, butuh
perjuangan untuk belajar tentang banyak hal, apalagi ”dadio pandekare bongso”
yang bisa diibaratkan menjadi pemimpin atau pejuang bangsa. Sungguh cita-cita
yang sangat mulia yang dan butuh kekuatan yang besar dari berbagai aspek untuk
mewujudkannya.
Mengapa langgam lelo ledhung terlihat lebih istimewa?
Coba bandingkan misalnya dengan beberapa langgam lainnya yang seringkali
membawa pesan-pesan percintaan dan patah hati seperti langgam Esemmu “pitung sasi lawase nggonku ngenteni, mung
sliramu wong bagus kang dadi ati”, atau kita bisa melihat lirik langgam Jangkrik
Genggong, “kendal kaline wunggu, ajar kenal karo aku” dan beberapa langgam
lainnya. Langgam lelo ledhung membawa pesan moral yang cukup kuat bagi orang
yang seringkali bersikeras mengukuhkan budaya patriarkhi dengan jargon
”laki-laki”-nya.
Langgam ini sejatinya ingin
menyampaikan bahwa perempuan-pun yang seringkali diidentikan dengan stereotipe
kewanitaannya bisa menjadi salah satu pejuang yang mengharumkan nama bangsa.
Sedangkan langga lainnya memiliki kecenderungan yang melihat perepuan dari
kacamata feminitas dan percintaan yang seringkali menunjukkan kelemahan dan
menyudutkan perempuan pada paparan praksis kehidupan masyarakat Jawa pada
umumnya.
Tenbang lelo ledhung hadir sebagaimana
cita Kartini menjadikan perempuan sebagai pribadi mulia dan tangguh serta
berwibawa sebagaimana gambaran pejuang-pejuang perempuan di Indonesia. Cita
luhur tersebut haruslah diapresiasi secara baik dengan cara melestarikan
langgam tersebut melalui berbagai media yang ada.
Meski demikian, saya tidak bermaksud
menngesampingkan atau tidak menghargai langgam-langgam yang lain sebagai sebuah
karya seni, apalagi dalam bingkai pelestarian budaya jawa. Semoga ke depan, banyak lagi tercipta lelo ledhung-lelo ledhung
lainnya yang mengusung pesan-pesan moralitas bagi bangsa ini.
* pengurus fatayat NU DIY