Senin, 13 Mei 2013

Essay Budaya


Pesan Kesetaraan Langgam Jawa
Oleh : Zusiana E Triantini*

….Tak gadang biso urip mulyo
Dadio wanito utama
Luhurke asmane wong tuo
Dadio pandekare bangso....

            Bait-bait syair di atas saya kutip dari sebuah langgam jawa yang saya dengarkan di sela-sela rutinitas pekerjaan yang saya lakukan. Tentu langgam ini sudah lama ada, tetapi mungkin baru kali ini saya menyadari pesan yang sejatinya ingin disampaikan dalam langgam tersebut. Entah karena situasi saat itu yang memang secara kebetulan saya mengerjakan sebuah tulisan tentang keadilan bagi perempuan atau memang karena kesadaran saya akan pesan langgam tersebut muncul karena ketidaksengajaan. Bisa jadi dua-duanya.

Bagi sebagian besar masyarakat jawa, khususnya jawa timur dan jawa tengah, langgam jawa tidak lagi asing di telinga. Biasanya langgam dinyanyikan saat masyarakat jawa menyelenggarakan hajatan, seperti hajatan pernikahan, khitanan dan juga biasa diperdengarkan di radio-radio yang secara khusus memiliki program untuk memutarnya. 

Meski harus bersaing dengan lagu-lagu 
dari aliran lain seperti pop, rock, jas, dan dangdut, keberadaan langgam masih cukup lestari hingga saat ini, bahkan beberapa pencipta langgam jawa tersebut mulai membuat sebuah kolaborsi antara langgam jawa dengan aliran musik lainnya. Jadi yang biasanya langgam diiringi dengan kelompok karawitan, kini langgam bisa dinyanyikan dengan iringam kelompol band rock dan pop.

Nah, langgam lelo ledhung ini bukan akan di tilik dari segi musikalitasnya, melainkan akan ditilik dari segi subsbstansi syair dalam beberapa bait yang ada dalam langgam tersebut. Satu hal yang menarik dari bait-bait langgam lelo ledhung di atas. Ada pesan-pesan kesetaraan yang disampaikan lewat bait langgam tersebut. Sebuah cita-cita luhur orang tua terhadap anak perempuannya dengan harapan besar ”dadio wanito utomo, luhurke asmane wong tuo, dadio pandekare bongso”. Di sinilah letak kesetaraan yang saya maksud. Di tengah budaya patriarkhi yang sangat kental dan sulit dilunturkan di masyarakat jawa, pesan bahwa wanita atau perempuan pun harus menjadi pandekar bangsa merupakan pencerahan yang patut untuk diperhitungkan. Bukan lagi masak, manak dan macak yang seringkali diidentikan dengan tugas perempuan jawa.

Menjadi ”wanito utomo” bukanlah hal yang mudah, butuh perjuangan untuk belajar tentang banyak hal, apalagi ”dadio pandekare bongso” yang bisa diibaratkan menjadi pemimpin atau pejuang bangsa. Sungguh cita-cita yang sangat mulia yang dan butuh kekuatan yang besar dari berbagai aspek untuk mewujudkannya. 

Mengapa langgam lelo ledhung terlihat lebih istimewa? Coba bandingkan misalnya dengan beberapa langgam lainnya yang seringkali membawa pesan-pesan percintaan dan patah hati seperti langgam Esemmu  “pitung sasi lawase nggonku ngenteni, mung sliramu wong bagus kang dadi ati”, atau kita bisa melihat lirik langgam Jangkrik Genggong, “kendal kaline wunggu, ajar kenal karo aku” dan beberapa langgam lainnya. Langgam lelo ledhung membawa pesan moral yang cukup kuat bagi orang yang seringkali bersikeras mengukuhkan budaya patriarkhi dengan jargon ”laki-laki”-nya.

Langgam ini sejatinya ingin menyampaikan bahwa perempuan-pun yang seringkali diidentikan dengan stereotipe kewanitaannya bisa menjadi salah satu pejuang yang mengharumkan nama bangsa. Sedangkan langga lainnya memiliki kecenderungan yang melihat perepuan dari kacamata feminitas dan percintaan yang seringkali menunjukkan kelemahan dan menyudutkan perempuan pada paparan praksis kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya.

Tenbang lelo ledhung hadir sebagaimana cita Kartini menjadikan perempuan sebagai pribadi mulia dan tangguh serta berwibawa sebagaimana gambaran pejuang-pejuang perempuan di Indonesia. Cita luhur tersebut haruslah diapresiasi secara baik dengan cara melestarikan langgam tersebut melalui berbagai media yang ada.

Meski demikian, saya tidak bermaksud menngesampingkan atau tidak menghargai langgam-langgam yang lain sebagai sebuah karya seni, apalagi dalam bingkai pelestarian budaya jawa. Semoga ke depan, banyak lagi tercipta lelo ledhung-lelo ledhung lainnya yang mengusung pesan-pesan moralitas bagi bangsa ini.

* pengurus fatayat NU DIY



Jumat, 03 Mei 2013

Resensi buku


Dari Perempuan untuk Kesuksesan

Judul  : Sifat-sifat perempuan yang Membuat Pasangannya Jadi Orang Sukses
Penulis      : Muyassarotul Hafidzoh
Penerbit    : Diva Press
Tahun        : 2013
Halaman`  : 216 Halaman                    
Peresensi   : Devisi Litbang*

Memahami sifat-sifat perempuan, alangkah lebih baik kalau memahami apa perempuan itu sendiri. Ada banyak istilah terhadap sosok anak cucu hawa ini. Tetapi buku menggunakan kata perempuan. Ada juga yang menyebut wanita, ada juga masyarakat yang menyebut betina. Bahasa-bahasa itu hadir dengan latar historis dan sosiologis-antropologisnya sendiri, sehingga seringkali makna yang hadir menjadi bias. Padahal, bahasa-bahasa itu untuk  memberikan penanda bagi perempuan. Semua perempuan tentu akan akan sepakat kalau penanda itu memberikan makna positif, bukan negatif.
Baik perempuan maupun wanita, makna yang diharapkan adalah makna yang positif, bukan makna yang dipolitisasi. Anak cucu hawa menghendaki yang terbaik, yang ditempatkan secara terhormat, bukan dimarginalisasikan. Karena Tuhan menciptakan perempuan bukan untuk dinistakan, melainkan untuk mendapatkan penghormatan. Dengan kehormatan itulah, perempuan akan menjadi pasangan yang memberikan energi besar bagi suaminya