Jumat, 16 Maret 2012

Kisah 2


Ibu Nyai Hj. Umroh Mahfudzoh,
Teladan Berorganisasi bagi Perempuan NU

Siapa bilang perempuan NU tidak mahir berorganisasi? Para Ibu Nyai telah memberikan banyak teladan ketika di pesantren. Makanya, kala berada di luar pesantren, perempuan NU sudah terlatih. Kalau masih ragu dengan hal ini, simaklah kisah singkat Ibu Nyai Hj. Umroh Mahfudzoh berikut ini. Anda akan mendapatkan jawabannya!

Dilahirkan 4 Februari 1936 di kota Gresik, Jawa Timur, Umroh mengawali pendidikan dasar di kota kelahirannya. Sempat berhenti sekolah hingga tahun 1946 karena clash II, Umroh melanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyah NU di Boto Putih, Surabaya. Dilahirkan dari pasangan K.H. Wahib Wahab dan Hj. Siti Channah, Umroh tumbuh dan dewasa di lingkungan NU. Sebagai cucu pendiri NU, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, masa kecil Umroh banyak dilalui di lingkungan pesantren, khususnya pada masa liburan yang banyak dihabiskan di Tambak Beras, Jombang, tempat kelahiran ayahnya.
Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, sejak kecil Umroh dididik untuk bisa hidup mandiri. Hasrat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah sekaligus mewujudkan impian merantaunya terpenuhi ketika diterima sebagai siswa SGA Surakarta. Ketika partai-partai politik meluaskan sayapnya pada pertengahan 50-an, Umroh mulai menerjunkan diri sebagai Seksi Keputrian Pelajar Islam Indonesia (PII) -organisasi pelajar afiliasi partai Masyumi- ranting SGA Surakarta. Namun, sejak berdirinya NU sebagai partai politik sendiri tahun 1952, Umroh mulai berkenalan dengan organisasi-organisasi di lingkungan NU.
Sembari mengajar di Perguruan Tinggi Islam Cokro, Surakarta, Umroh yang nyantri di tempat Nyai Masyhud mulai menerjunkan diri sebagai wakil ketua Fatayat NU cabang Surakarta. Semangat Umroh yang menyala-nyala membawa pada kesadaran akan perlunya sebuah organisasi pelajar yang khusus menghimpun putra-putri NU. Berdirinya IPNU yang khusus menghimpun pelajar-pelajar putra pada awal tahun 1954 membuat keinginan Umroh untuk membuat organisasi serupa khusus untuk para pelajar putri semakin menggebu-gebu.
Gagasannya dituangkan lewat diskusi intensif dengan para pelajar putri NU di Muallimat NU dan SGA Surakarta yang sama-sama nyantri di tempat Nyai Masyhud. Kegigihan Umroh memperjuangkan pendirian IPNU-Putri (kelak berubah menjadi IPPNU) membawanya duduk sebagai Ketua Dewan Harian (DH) IPPNU. DH IPPNU adalah organ yang bertindak sebagai inkubator pendirian sekaligus pelaksana harian organisasi IPPNU.

BERITA NASIONAL


Fatayat NU Canangkan Tahun Kebangkitan Perempuan

JAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Umat Fatayat Nadhatul Ulama (NU), Ida Fauziah berharap, Tahun 2012  menjadi tahun kebangkitan perempuan Indonesia. Untuk mencapainya, Fatayat NU mengeluarkan resolusi di antaranya, pemberantasan korupsi harus menjadi agenda yang dikuatkan dan didorong oleh semua pihak.

"Diperlukan keinginan pimpinan dan lembaga pemerintahan di semua tingkat untuk melakukan pencegahan praktek korupsi," kata Ida saat acara catatan awal tahun dan resolusi 2012 di kantor PBNU, Jakarta, Kamis (5/1).

Ia menambahkan, untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, pemerintah seharusnya meningkatkan program perlindungan terhadap perempuan secara konsisten dan tidak cukup hanya bereaksi terhadap tindak kekerasan secara parsial dan jangka pendek.

"Kami minta kebijakan moratorium pengiriman TKI, khususnya ke Arab Saudi harus dimanfaatkan pemerintah Indonesia dan berbagai pihak terkait untuk memperkuat kompetensi dan persiapan calon TKI," ujar Ida.

Ida juga mendesak agar Pemerintah sebagai penanggungjawab Negara meningkatkan akses dan mutu pendidikan untuk memastikan perempuan Indonesia melek huruf dan memiliki pengetahuan dan kecakapan hidup yang memadai.

Karenanya kata dia, pihaknya mendorong pemerintah dan legislatif untuk membentuk kebijakan publik dan pembangunan yang pro rakyat miskin. "Untuk mengatasi kemiskinan yang kian menggurita, pemerintah harus menentukan dan membentuk kebijakan ekonomi yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat banyak, bukan sebagian kecil pengusaha yang menguasai ekonomi Indonesia," tandasnya. (kyd/jpnn)



NU, Lesbumi dan Politik Kebudayaan


Data buku:
Judul Buku    : Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan  
Penulis            : Choirotun Chisaan
Penerbit          : LKiS, Yogyakarta
Cetakan          : 1, Februari 2008
Tebal buku    : xiv + 310 halaman 

 Buku ini merupakan buku sangat menarik. Bukan saja pembaca akan mengenal apa itu Lesbumi, tetapi juga akan diajak mengembara dalam belantara kebudayaan Indonesia, khususnya yang terkait dengan strategi politik kebudayaan yang dijalankan NU. Hj. Choirotun Chisaan, MA., sang penulis, tak lain adalah sosok yang sangat dekat dengan organisasi NU, khususnya PW Fatayat NU DIY. Selamat membaca ulasan singkat tentang buku Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan. Semoga menambah banyak wacana dan pengetahuan.

Era Indonesia modern, adalah era dimana telah telah terjadi hubungan yang sangat erat antara seni budaya dan politik. Bahkan pada fase tertentu, seni budaya dipandang sebagai produk dari sebuah proses politik itu sendiri. Sehingga hampir bisa dipastikan bahwa partai-partai politik yang memiliki massa besar pada waktu itu, seperti PKI, Masyumi, NU dan lain sebagainya, semuanya memiliki lembaga seni budayanya masing-masing. Fenomena ini dapat kita jumpai terutama ketika menjamurnya berbagai lembaga kesenian dan kebudayaan yang kemudian berafiliasi dengan partai politik tertentu dalam kurun waktu antara 1950-1960-an.
Ditengah menjamurnya lembaga seni budaya tersebut, lahir pula sebuah lembaga kebudayaan yang bernama Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia atau disingkat Lesbumi. Masa kelahiran Lesbumi (1962) itu sendiri adalah masa dimana telah terjadi gejolak yang cukup serius yang dipicu oleh perbedaan aliran pada masing-masing lembaga kesenian dan kebudayaan pada saat itu, yaitu perdebatan antara penganut realisme sosialis dan pendukung humanisme universal, yaitu antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI di satu pihak dan para pencetus Manifes kebudayaan di pihak lain.
Namun demikian, berbeda dengan Lekra yang dilekati dengan garis aliran realisme sosialis maupun kubu Manifes Kebudayaan yang dilekati garis aliran humanisme universal, Lesbumi lahir dengan membawa karakter utama yaitu kentalnya akan warna ”religius” dalam produk-produk seni budayanya. Warna ini sengaja diambil oleh Lesbumi dengan maksud disamping untuk menghidari dua titik ekstrim antara kubu Lekra dan Manifes Kebudayaan juga memberikan alternatif baru dalam berkesenian dengan memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) ketimbang sebuah ”pertarungan” politik. Oleh karena itu, kemunculan Lesbumi tentu juga ikut mewarnai debat kebudayaan yang terjadi pada saat itu.
Ironisnya, dalam setiap memperbincangkan debat kebudayaan, terutama pada kurun waktu 1950-1965, nama Lebumi seolah ”lenyap” entah kemana. Berangkat dari persoalan itulah, buku yang ditulis oleh Choirotun Chisaan dengan judul ”Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan” ini hadir ditengah-tengah kita. Alih-alih menganalisis mengenai tiga persoalan pokok, yaitu historisitas Lesbumi, posisi Lesbumi ditengah perdebatan politik aliran seni budaya di Indonesia kurun waktu 1960-an serta dinamika intern yang terjadi di tubuh Lesbumi itu sendiri, buku ini mencoba mengungkap fenomena Lesbumi yang hilang dari wacana dalam membahas ”debat” kebudayaan yang terjadi pada masa-masa itu. 
Lesbumi itu sendiri adalah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan NU (Nahdhlatul Ulama) yaitu pada saat NU menarik diri dari partai Masyumi dan menjadi partai politik sendiri di tahun 1952. Secara resmi, Lesbumi dibentuk pada 28 Maret 1962 dengan beranggotakan para artis, pelukis, bintang film, pemain pentas, sastrawan juga para ulama yang memiliki latar belakang seni cukup baik. Setidaknya ada dua momen penting yang melatari kelahiran Lesbumi. Pertama, adalah

Kamis, 15 Maret 2012

Kisah 1


Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim,
Perempuan NU yang Mendunia

Perempuan NU sudah berdaya sejak NU itu berdiri. Ini dibuktikan dengan kisah perjuangan Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim, seorang perempuan NU yang terkenal ‘alim dalam ilmu agama, pelopor pesantren perempuan pertama di Indonesia, bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Arab Saudi atas dedikasinya dalam pendidikan. Berikut ini kisah sekilas beliau, semoga menjadi pelajaran penting bagi perempuan NU hari ini.
Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim dilahirkan pada tahun 1908 M (1326 H) di Tebuireng, Jombang. Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim merupakan puteri pertama dari Hadratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dan Nyai Hj. Nafiqoh. Dengan demikian, Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim adalah kakak kandung dari K.H. A. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI pertama dan bibi dari K.H. Sholahudin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng saat ini.
Meskipun tidak pernah menuntut ilmu di pesantren lain, namun pola pendidikann yang diberikan Hadratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari telah mampu menjadikan Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim sebagai salah satu pejuang kaum perempuan yang patut diperhitungkan, baik melalui institusi pendidikan yang dikelola maupun melalui organisasi kemasyarakatan yang dipimpin.
Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim banyak mendalami ilmu dari sosok Hadratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari, di samping upaya yang sungguh-sungguh untuk belajar sendiri (otodidak). Meskipun Hadratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari sangat sibuk dengan berdakwah, namun tetap memiliki waktu untuk mengajarkan ilmu kepada Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim. Sering Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim mengikuti pengajian di masjid Pesantren Tebuireng dari belakang tabir.

Pelopor Pesantren Perempuan
Setelah menikah dengan K.H. Ma’shum ‘Ali, Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim kemudian diutus Hadratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan pesantren di Seblak yang khusus mendidik santri puteri. Bersama suami, Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim merintis pendirian pesantren tersebut. Namun, beberapa tahun setelah Pesantren Puteri Seblak berdiri, K.H. Ma’shum ‘Ali meninggal dunia pada tahun 1933 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Pesantren Tebuireng.
Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim kemudian melanjutkan kepemimpinan Pesantren Puteri Seblak sampai tahun 1937 dengan dibantu oleh para guru. Meskipun Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim adalah seorang perempuan, namun kapasitas keilmuan yang dimiliki di bidang agama tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, tidak jarang Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim juga memberikan pengajian di daerah-daerah sekitar Dusun Seblak.

Jendela Buku

Buku Respon NU Terhadap Kekerasan Perempuan

Sebuah buku berjudul “Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan demi Keadilan” hasil kerjasama antara Komnas Perempuan dengan NU diluncurkan di Jakarta, Rabu (30/6/2010)

Buku ini merupakan upaya Komnas Perempuan bersama dengan kelompok-kelompok agama, termasuk didalamnya Nahdlatul Ulama menyuarakan gerakan terhadap penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Neng Dara Afian, salah satu komisioner Komnas Perempuan menjelaskan kerjasama ini dibangun melalui para teolognya dengan berproses bersama melalui sebuah dialog yang konstruktif dan berkesinambungan antara perempuan dan korban dan komunitas serta pemuka agamanya, demi kebenaran, keadilan dan pemulihan.

Buku yang ditulis oleh Dr Nur Rofiah Bil Uzm ini mengangkat beberapa kasus kekerasan, yakni poligami, perempuan kepala keluarga di lingkungannya, serta perempuan buruh migran (TKW) untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya.

“Tiga fenomena ini cukup menjelaskan tindakan kekerasan yang dialami perempuan di tengah-tengah masyarakat yang patriarkhal dan pemahaman yang “keliru” terhadap ajaran agama yang telah meminggirkan, mendiskriminasikan bahkan menihilkan keberadaan perempuan,” katanya.

Buku ini menawarkan cara pandang baru dari

Rabu, 14 Maret 2012

Perempuan sebagai Ibu Kehidupan "Part 1"



Perempuan sebagai Ibu Kehidupan
Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*

Jika segenggam potensi perempuan dikerahkan secara maksimal, maka akan muncul jutaan potensi yang akan membawa perubahan besar sepanjang peradaban manusia. Namun potensi ini masih terkubur oleh budaya patriarkhi dan belum banyak ditemukan oleh manusia. Manusia hanya banyak tahu bahwa perempuan adalah sosok yang akan menjadi istri dari laki-laki dan ibu dari anak-anaknya. Padahal perempuan bisa menjadi yang lebih dari sekedar itu. Inilah yang mesti direfleksikan kaum perempuan dalam momentum Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret 2012.
Perempuan adalah makhluk yang luar biasa yang diciptakan Tuhan sebagai ibu kehidupan. Tanpa perempuan tidak ada kehidupan. Semua keturunan umat manusia berawal dari rahim perempuan. Dari sanalah akan muncul generasi penerus peradaban, dan untuk menciptakan peradaban yang luar biasa kita membutuhkan perempuan yang luar biasa.
Di dalam diri perempuan terdapat potensi-potensi besar yang patut diberdayakan bukan dibiarkan begitu saja bahkan dianggap tidak penting. Potensi dalam diri perempuan mampu merubah nasib perempuan bahkan mampu merubah peradaban. Senada dengan pemikiran William James, seorang Psikolog Amerika Serikat mengatakan bahwa